Langsung ke konten utama

BAB WARIS

 





Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih dan Pembelajarannya
DOSEN : MUKAROM,M.AG.
 











Disusun oleh : Hilda Lestari


KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S
KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Allah telah menetapkan hukum waris dengan hikmah dan ilmu-Nya, dia telah menentukan pembagiannya di antara ahlinya dengan sebaik-baik pembagiannya dan yang paling adil, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya yang sangat tinggi dan rahmat-Nya yang menyeluruh serta ilmu mencakup segala sesuatu, Dia menjelaskan demikian itu dengan penjelasan yang sempurna, maka datanglah ayat-ayat dan hadits-hadits tentang waris yang meliputi segala sesuatu yang mungkin terjadi terkait dengan pembagian harta warisan.
      Orang-orang jahiliyah di masa jahiliyah mereka tidak memberikan hak waris kepada wanita dan anak laki-laki yang kecil , mereka mengatakan: tidak diberi warisan kecuali orang yang ikut berperang dan telah meraih rampasan perang, lalu Allah membatalkan hukum jahiliyah yang dibangun di atas kebodohan dan kedzaliman ini, Allah SWT menjadikan kaum wanita mendapatkan harta warisan setengah dari bagian laki-laki, dan tidak mengharamkan harta waris itu untuk wanita.
            Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam. Permasalahan hukum kewarisan islam sangat luas dan kompleks, meliputi ruang lingkup kehidupan manusia dan masyarakat dari persoalan anak yang masih dalam kandungan sampai meninggal dunia.
            Dalam makalah ini, penulis akan mencoba memaparkan berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu waris. Insya Allah.

B.    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari ilmu waris?
2.      Sebutkan sumber-sumber hukum ilmu waris!
3.      Sebutkan rukun dan syarat pewarisan Islam?
4.      Jelaskan sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam islam!
5.      Jelaskan sebab-sebab hilangnya hak kewarisan dalam islam!
6.      Jelaskan pembagian warisan dalam islam!
7.      Jelaskan sebab kerabat (ahli waris) yang lain tidak mendapatkan bagian warisan!
8.      Siapa saja dzawul arham?
9.      Sebutkan asas-asas hukum kewarisan islam ?
C.    Tujuan Masalah
      Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita dapat mengerti apa itu Ilmu Warits dan dapat memahami segala hukum-hukum yang berkaitan dengan Ilmu Warits.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Waris
            Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (الإرث) atau al-mirats (الميراث) secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit).  Secara etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-materi.[1]
            Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.          
            Ilmu faraidh atau fiqh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peningalan dari seorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkanya, orang orang yang berhak menerima harta tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaianya.[2]

B.     Sumber Hukum Waris Islam
            Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Al-qur’an
      Adapun ayat-ayat al Qur’an yang mengatur tentang kewarisan secara jelas dan rinci ialah sebagai berikut :
Surat an Nisa ayat 7
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Surat an Nisa ayat 11
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٞۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ١١
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Surat an Nisa ayat 12
۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرّٖۚ وَصِيَّةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٞ ١٢
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Surat an Nisa ayat 33
وَلِكُلّٖ جَعَلۡنَا مَوَٰلِيَ مِمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ وَٱلَّذِينَ عَقَدَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُمۡ نَصِيبَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدًا ٣٣
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”




2.      Hadits
      Adapun hadits yang ada hubungannya dengan hukum kewarisan antara lain ialah :
a.       Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
“Kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dariii Ibn Thowus, dari bapaknya, dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “bagilah harta waris diantara orang-orang yangg berhak menerima bagian sesuai dengan ketentuan al-Qur’an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak ialah ahli waris laki-laki”
b.       Hadits Nabi dari Jabir Ibn Abdillah
“Kami telah diberitahukan oleh ‘Amr Ibn Abi Qois dan Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin Abdillah berkata: Rasulullah telah datang menjengukku sedang saya dalaam keadaan sakit di bani Salamah kemudian saya bertanya: “Wahai Nabi Allah bagaimana saya harus membagi harta diantara anak-anakku, maka sebelum Nabi bertolak dariku maka turunlah ayat: 11. “Yang artinya Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

3.      Ijtihad
Ijtihad ialah usaha atau ikhtiar yang sungguh – sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada di lakukan oleh orang ( ahli hukum yangg memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam al Qur’an dan sunnah Rasul.[3]
C.     Rukun Dan Syarat Pewarisan Islam
a)      Rukun pewarisan islam
1.      Pewaris
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Pewaris dalam Alquran Surah An-Nisaa’ (4) ayat 7, 11, 12, 33, dan 176 dapat diketahui bahwa pewaris itu terdiri atas orang tua/ayah atau ibu (al-walidain), dan kerabat (al-aqrabin). Al-walidain dapat diperluas pengertiannya menjadi kakek atau nenek kalau ayah atau ibu tidak ada. Pengertian anak (al-walad) dapat diperluas menjadi cucu kalau tidak ada anak. Kerabat (al-aqrabin) adalah semua anggota keluarga yang dapat dan sah menjadi pewaris, yaitu hubungan nasab dari garis lurus ke atas, ke bawah, dan garis ke samping.
2.      Harta Warisan
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalkannya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran hutang serta wasiat pewaris. [4]
3.      Ahli waris
Ahli waris  yaitu orang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang menjadi pewaris. Menjadi ahli waris karena hubungan darah yaitu ayah, ibu,anak, saudara keatas, saudara kebawah, saudara kesamping dalam hubungan perkawinan yaitu janda atau duda.[5]
b)      Syarat  Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Syarat-syarat adanya pelaksanaan hukum kewarisan Islam ada 3 syarat, yaitu :
1.      Kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta
2.      Kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia
3.      Diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris [6]

D.    Sebab-sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam
Sebab-sebab Adanya Hak Kewarisan dalam Islam Hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut Alquran, hadits Rasulullah, dan Kompilasi Hukum Islam, ditemukan dua penyebab, yaitu :
1.      Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan (akad) suami istri yang sah, dengan sebab ini maka seorang suami mewarisi harta suami dan seorang istri mewarisi harta suami dengan sebab semata-mata telah melakukan akad nikah, meskipun belum melakukan hubungan jima’ (hubungan suami istri) dan belum berkhalwat, Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:



۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya” (QS.An-Nisa:12)

2.      Nasab
Nasab adalah hubungan antara dua orang dengan sebab kelahiran, baik yang  dekat atau yang jauh hubungannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
وَإِذۡ يَعِدُكُمُ ٱللَّهُ إِحۡدَى ٱلطَّآئِفَتَيۡنِ أَنَّهَا لَكُمۡ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيۡرَ ذَاتِ ٱلشَّوۡكَةِ تَكُونُ لَكُمۡ وَيُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُحِقَّ ٱلۡحَقَّ بِكَلِمَٰتِهِۦ وَيَقۡطَعَ دَابِرَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٧
Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir” (QS.Al-Anfal:7)

3.    Wala’
            Wala’ (memerdekakan budak) yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan ahli warisnya yang mewarisi dengan bagian ‘ashobah dengan sebab dirinya (‘ashobah bin nafsi) seperti ikatan antar orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan secara sukarela atau karena wajib misal disebabkan karena nadzar, zakat atau kafarah [7]berdasarkan sabda Nabi : “Sesungguhnya wala’ itu hanya untuk orang yang memerdekkannya”[8]

E.      Sebab-sebab Hilangnya Hak Kewarisan dalam Islam
Penghalang warisan ada tiga, yaitu :
1.      Perbedaan agama
Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Misalnya salah satu diantara keduanya beragama Yahudi. Maka antara keduanya tidak saling mewarisi karena hubungan antara keduanya telah terputus secara syar’i. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيۡرُ صَٰلِحٖۖ فَلَا تَسۡ‍َٔلۡنِ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۖ إِنِّيٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٤٦
“Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan" (QS.Hud:46)

2.      Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Berdasarkan hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Seorang pembunuh tidak mewarisi sedikitpun” Diriwayatkan oleh Abu Daud.[9]
3.      Perbudakan
Perbudakan menghalangi warisan  karena Allah telah menyandarkan warisan kepada orang yang berhak  saja sedangkan budak tidak memilikinya. Sebagaimana hadits Nabi SAW: “Barang siapa yang menjual budak yang memiliki harta itu milik penjual kecuali pembeli itu memberikan syarat kepadanya.” (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim)[10]
Jika tidak memiliki harta maka tidak berhak menerima warisan, karena kalau dia menerima warisan tentu warisan itu untuk tuannya dan dia bukan kerabat si mayit.[11]

F.      Pembagian Warisan
Warisan terbagi menjadi dua bagian yaitu dengan fardh (ditentukan) dan dengan ta’sib (tersisa).
1.      Bagian waris yang ditentukan (fardh) : yaitu ahli waris yang memiliki bagian yang telah ditentukan , seperti mendapatkan setemgah (1/2) dan seperempat (1/4) dari hartanya.
Bagian-bagian yang ditentukan yang tersebut dalam Al-Quran ada enam yaitu :
1)      Setengah (1/2)
2)      Seperempat (1/4)
3)      Seperdelapan (1/8)
4)      Dua pertiga (2/3)
5)      Sepertiga (1/3)
6)      Seperenam (1/6) [12]
Adapun ahli waris yang mendapat bagian warisan yang ditentukan yaitu :
a.      Kelompok ahli waris laki-laki
1)      Anak laki-laki
2)      Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah
3)      Ayah
4)      Kakek shaih dan seterusnya ke atas
5)      Saudara laki-laki sekandung
6)      Saudara laki laki seayah
7)      Saudara laki-laki seibu
8)      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
9)      Anak laki-laki asudara laki-laki seayah
10)  Paman sekandung
11)  Paman seayah
12)  Anak laki-laki paman sekandung
13)  Anak laki-laki paman seayah
14)  Istri
15)  Budak (bagi pewaris yang memerdekakan budak)
b.      Kelompok ahli waris perempuan
1)      Anak perempuan
2)      Cucu perempuan pancar laki-laki
3)      Ibu
4)      Nenek dari pihak ayah dan seterusnya
5)      Nenek dari pihak ibu dan seterunya keatas
6)      Saudara perempuan sekandung
7)      Saudara perempuan seayah
8)      Saudara perempuan seibu
9)      Isteri
10)  Orang perempuan yang memerdekan budak.[13]
2.      Bagian waris yang tersisa (ta’sib) : yaitu ahli waris mendapatkan bagian yang tidak ditentukan.
Adapun ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak ditentukan yaitu :
1)      Al-Ashobah
Al-Ashobah yaitu kerabat si mayit yang mewarisi harta warisannya dengan bagian yang tidak ditentukan. Jika sendirian maka ia mengambil semua harta warisan, jika bersama dengan ahli waris yang bagiannya ditentukan maka ia mengambil sisa pembagian harta warisan setelahnya, sedangkan jika para ahli waris yang bagiannya ditentukan telah mengambil bagiannya dari harta warisan  sehingga tidak ada yang tersisa maka gugurlah bagiannya.
‘Ashobah terbagi menjadi tiga macam yaitu :
1.      Al-Ashobah bin Nafsi
·         Semua ahli waris laki-laki dari kalangan ibu si mayit, keturunannya dan hawasyinya kecuali beberapa saudara laki-laki dari ibu.
·         Yang mewarisi dengan sebab wala’ baik dari kalangan laki-laki atau perempuan seperti seorang laki-laki yang memerdekakan budak dan seorang wanita yang memerdekakan budak
2.      Al-Ashobah bil Ghairi
Anak-anak perempuan, anak-anak perempuannya anak laki-laki, saudara perempuan sekandung dan seayah ketika bersama ahli waris dari jenis laki-laki yang derajat dan sifatnya sama dengan mereka atau yang di bawah mereka derajatnya khususnya untuk anak-anak perempuannya anak laki-laki, jiak ahli waris yang derajatnya di atas mereka telah mengambil bagian dua pertiga (2/3) secara sempurna, maka empat ahli waris ini mendapatkan bagian ‘ashobahnya, dan seorang laki-laki mendapat bagian sebagaimana bagian dua orang perempuan.
3.      Al-Ashobah ma’al Ghairi
Saudara-saudara perempuan sekandung dan seayah ketika bersama keturunan-keturunan si mayit dari kalangan wanita. Maka kedudukan saudara perempuan sekandung dijadikan seperti kedudukan saudara-saudara laki-laki sekandung, dan kedudukan saudara-saudara perempuan seayah dijadikan seperti kedudukan saudara-saudara laki-laki seayah.[14]

G.    Al-Hijab
Al-Hijab secara bahasa bermakna menghalangi dan secara istilah menghalangi ahli waris yang lain dari semua bagian warisannya atau sebagiannya. Al-Hijab terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1.      Hijab dengan sifat
Yaitu memiliki sifat-sifat yang dapat menghalangi dirinya dari bagian warisannya dengan sifat-sifat yang telah lalu seperti sifat perbudakan, membunuh dan perbedaan agama. Bagian hijab ini dapat mengenai semua ahli waris. Setiap orang dari mereka mungkin bisa menjadi budak atau pembunuh si mayit atau berbeda agama dengan si mayit tersebut.
Orang-orang yang terhalangi bagian warisannya dengan sifat hijab ini keberadaan dirinya tidak ada diantara mereka, maka ia tidak dapat menghalangi lainnya dari bagiannya dan tidak dapat menjadikan yang lainnya mendapatkan bagian warisan dengan bagian ‘ashobah.
2.      Hijab dengan seseorang
Yaitu sebagian ahli waris terhalangi bagian warisannya dengan sebab ada ahli waris yang lain. Bagian ini terbagi menjadi dua macam yaitu :
1)      Hijab Hirman yaitu seseorang yang terhalangi bagian warisannya ketika bersama orang yang menghalangi bagian warisannya tidak mendapatkan bagian warisan sedikitpun dan hijab ini dapat mengenai semua ahli waris kecuali orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan si mayit tanpa wasilah diantaranya ibu, ayah, anak perempuan, anak laki-laki, istri dan suami.
2)      Hijab Nuqson yaitu seseorang yang terhalangi bagian warisannya ketika bersama orang yang menghalangi warisannya tetap mendapatkan bagiannya, yang mana kalau tidak ada orang yang menghalangi bagiannya tentu dia mendapatkan bagian warisan yang lebih banyak dari bagiannya ini, dan hijab jenis ini dapat mengenai semua ahli waris tanpa ada kecuali.[15]



H.    Dzawul Arham
Dzawul Arham adalah setiap kerabat yang tidak mendapatkan bagian warisan yang ditentukan (al-fardh) dan yang tersisa (al-‘ashobah). Dzawul Arham terdiri dari tiga yaitu :
1.      Induk si mayit yang tergolong Dzawul Arham adalah:
·         Setiap kakek yang antara dirinya dan si mayit terpisah oleh perempuan, seperti ayah dari ibunya si mayit dan ayah neneknya si mayit.
·         Setiap nenek yang memiliki hubungan kekerabatan dengan si mayit dengan wasilah laki-laki yang antara keduanya terpisahkan oleh perempuan seperti ibunya ayahnya ibu si mayit dan ibunya ayahnya nenek si mayit.
·          Setiap nenek yang memiliki hubungan kekerabatan dengan si mayit dengan wasilah ayah yang lebih tinggi nasabnya dari kakek, seperti ibunya ayah si kakek.
2.      Keturunan si mayit yang tergolong Dzawul Arham adalah setiap orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan si mayit dengan wasilah orang perempuan seperti cucu mayit dan cucu laki-laki si mayit.
3.      Hawasyi yang tergolong Dzawul Arham adalah:
·         Bibi dari saudara ayah dan ibu, keponakan dari saudara laki-laki dan perempuan, sepupu perempuan dari saudara ayah.
·         Anak laki-laki dari saudara perempuan dan laki-laki, paman dari saudara ayah yang seibu dan paman dari saudara ibu.
·         Anak laki-laki dan perempuan dari saudara seibu.[16]

I.       Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
A.    Ijbari Asas
Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
B.      Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateralan itu, mempunyai 2 dimensi saling mewarisi dalam Alquran Surah An-Nisaa’ (4) ayat 7, 11, 12, dan 176, yaitu antara anak dengan orang tuanya dan antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orang tua.
C.     Asas Individual
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Oleh karena itu, bila setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyatal-ada).
D.    Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melasanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam Alquran yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Didalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, poses dan tujuan segala tindakan manusia.
E.      Asas Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik  secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.

           







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
            Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam.
Hukum waris islam telah menetapkan rukun dan syarat yang harus dilaksanakan ketika pelaksanaan pembagian harta warisan kepada ahli waris. Adapun rukun waris yaitu pewaris, ahli waris dan harta warisan dan syarat-syarat waris yaitu kepastian meninggalnya pewaris, kepastian hidupnya ahli waris dan diketahui sebab-sebab status ahli waris. Jika tidak terdapat rukun dan syarat waris maka pembagian warisan tidak dapat dilaksanakan.
Dalam pembagian harta warisan tentu terdapat sebab-sebab seseorang berhak atau tidaknya mendapat warisan. Karena jika ahli waris tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan, maka ia tidak berhak mendapat warisan. Adapun ahli waris yang terhijab (terhalang) oleh ahli waris lain tidak menerima warisan sebagaimana yang telah dijelaskan. Begitu pula dengan dzawul Arham yang merupakan istilah bagi setiap kerabat yang tidak mendapatkan bagian warisan.
            Dalam hukum kewarisan terkandung asas-asas yang terbagi menjadi lima macam yaitu asas ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang dan akibat kematian. Telah banyak dasar-dasar hukum yang menjelaskan secara rinci mengenai ilmu waris membuktikan akan sangat pentingnya ilmu waris dalam kehidupan umat. Dengan demikian, kita sebagai umat muslim setidaknya mengetahui dasar-dasar tentang ilmu waris meskipun hanya sedikit, karena ilmu tersebut kelak akan kita perlukan di masa mendatang.










B.     DAFTAR PUSTAKA
Suparman Usman,yusuf somawinata, 2008, FIQIH MAWARIS hukum kewarisan islam, Jakarta, Gama media Pratama.
Drs.H.suparman usman, ,1990, ikhtisar hukum waris menurut KUH perdata B.W, serang, darul ulum press.
Badriyah Harun, 2009, panduan praktis pembagian waris, pustaka yustisia, Jakarta.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Tas-Hil Al-Faraidh, As-Shaf Media.




[1] http://www.alkhoirot.net/2012/09/warisan-dalam-islam.html diakses pada tanggal 20 Desember     2016 Pukul 12.34 WIB
[2] Suparman Usman dan Yusuf somawinata, FIQIH MAWARIS Hukum Kewarisan Islam. hal. 15
[3] http://www.rumahpintarr.com/2016/09/3-tiga-sumber-hukum-waris-islam.html diakses pada tanggal 26 Desember 2016 Pukul 12.46 WIB

[4] https://ilhamkhalifah.files.wordpress.com/2014/04/hukum-kewarisan-islam.pdf diakses pada tanggal 29 Desember 2016 Pukul 19.51 WIB
[5] Badriyah Harun, panduan praktis pembagian waris, pustaka yustisia, Jakarta, 2009. Hal.52
[6] Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Tas-Hil Al-Faraidh, As-Shaf Media. Hal.33
[7] Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Tas-Hil Al-Faraidh, As-Shaf Media. Hal.37-38
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (2155) Kitab Al-Buyu’, Bab Al Bai’ Wasy Syira ma’annisa, dan Muslim (1504) Kitab Al Itqu, Bab Innamal Wala Liman A’taqa dari hadits Aisyah ra.
[9] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya (3955) Kitab Ad-Diyat, BabAl-Qatil laa Yarits, dan Imam Ahmad (328)
[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhori dalam shahihnya (2379) Kitab As-Syurb Wal Masaqat, Bab Al-Rajul Yakunu Lahu Mamarrun au Syirbun fii Haithin au fii Nakhlin. Muslim (1543) Kitab Buyu’, Bab Man Ba’a Nakhlan Alaiha Tsamar dari Hadits Ibnu Umar ra.
[11] Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Tas-Hil Al-Faraidh, As-Shaf Media. Hal.51-53
[12] Ibid, Hal.61
[13] Suparman Usman. loc.cit hal 63
[14] Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Tas-Hil Al-Faraidh, As-Shaf Media. Hal.109-110
[15] Ibid, Hal.126-127
[16] Ibid, Hal.135-136

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan kurikulum di Indonesia

PERBANDINGAN KURIKULUM DI INDONESIA Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Kurikulum Dosen Pengampu : Dr. Isof Syafei, M. Ag.    Disusun oleh : Hilda Lestari (115011613) KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL . INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2017 DAFTAR ISI Daftar Isi ............................................................................................................................... 1 BAB I Pendahuluan ......................................................................................................................... 2 Latar Belakang ..................................................................................................................... 2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 3 BAB II...

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih DOSEN : MUKAROM,M.AG. Nama : Hilda Lestari 115011613 KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2016 PENDAHULUAN Para Ulama sepakat bahwa tindakan manusia;baik berupa perbuatan maupun ucapan,dalam hal ibadah maupun muamalah,berupa tindakan perdana maupun tindakan perdata,masalah akad atau pengelolaan,dalam syariat Islam seluruhnya masuk dalam wilayah hukum.Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah dan sebagian tidak.Namun Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya,sehingga seorang Mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut. Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan ...
Hadits tentang sosial dan masyarakat Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hadits dan Pembelajarannya DOSEN : MUKAROM,M.AG.   Disusun oleh : Hilda Lestari KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 201 7 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan makhluk sosial dikarenakan pada diri manusia terdapat dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi.       ...