Langsung ke konten utama

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I


HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih



DOSEN : MUKAROM,M.AG.
Nama : Hilda Lestari
115011613




KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S
KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153
2016







PENDAHULUAN
Para Ulama sepakat bahwa tindakan manusia;baik berupa perbuatan maupun ucapan,dalam hal ibadah maupun muamalah,berupa tindakan perdana maupun tindakan perdata,masalah akad atau pengelolaan,dalam syariat Islam seluruhnya masuk dalam wilayah hukum.Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah dan sebagian tidak.Namun Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya,sehingga seorang Mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.
Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan manusia yang diambil dari nash-nash yang ada atau dari pembentukan hukum berdasarkan dalil syariat yang tidak ada nashnya,terbentuklah Ilmu Fiqih.Ilmu Fiqih menurut syara’ merupakan pengetahuan tentang hukum syariat yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalilnya secara detail.Atau kumpulan hukum-hukum syariat yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya secara detail.
Dari keseluruhan kaidah dan hasil penelitian yang berhubungan dengan dalil syara’ yang dapat menunjukkan hukum tertentu,juga yang berhubungan dengan hukum yang diambil dari dalilnya atau hal-hal lain yang  berhubungan dengan keduanya maka terwujudlah Ushul Fiqih.Ilmu Ushul Fiqih menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Obyek pembahasan Ilmu Fiqih adalah perbuatan orang mukallaf ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’.Sedangkan obyek pembahasan Ilmu Ushul Fiqih adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’yang tepat pula.
Tujuan Ilmu Fiqih adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia.Sehingga Ilmu Fiqih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya,seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan  dan perbuatannya.Sedangkan Ilmu Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya.
Dalam makalah ini saya akan berusaha menjelaskan pengertian hukum syara’,macam-macam hukum syara’ beserta pembagiannya.













PEMBAHASAN
A.   HUKUM
Hukum syara’menurut istilah ulama ahli Ushul Fiqih adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf;baik berupa tuntutan,pilihan atau ketetapan.
Jadi,firman Allah:
.اوفوا باالعقود
“Penuhilah janji”
               Adalah doktrin syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan tuntutan melaksanakan.
               Firman Allah:
. لايسخر قو م من قوم
“Jangan suatu kaum mengolokkan kaum yang lain,”(QS.al-Hujurat:11)
               Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan mengolok-olok dengan tuntutan meninggalkan.
               Firman Allah:
.فان حفتم ان لايقيماحدودالله فلاجناح عليهما فيما افتد ت به
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dosanya,”(QS.al-Baqarah:229)
               Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan ganti rugi oleh suami dari istri sebagai imbalan jatuhnya talak kepada istri sebagai tuntutan pilihan.
Dan sabda Nabi SAW:
.لا يرث القا تل
“Orang yang membunuh tidak mendapat bagian waris,”
               Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan ketetapan pembunuhan yang menghalangi perolehan harta waris.
               Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan,pilihan atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli ushul.Hal ini sesuai dengan istilah para ahli hukum saat ini;mereka menghendaki bahwa hukum adalah nash yang keluar dari para hakim.Oleh karena itu mereka mengatakan : Bunyi hukumnya begini.Mereka juga mengatakan : Pengadilan telah menjelaskan suatu hukum menurut bunyi hukum.
               Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fiqih adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf),seperti kewajiban,keharaman dan kebolehan.
Jadi Firman Allah:
 .اوفوا باالعقود
“Penuhilah janji”
Maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji.Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul,sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fiqih.
Firman Allah:
.ولا تقربوالزنا
“Jangan kamu mendekati zina”
               Adalah hukum menurut istilah ahli ushul,sedangkan keharaman mendekati zina adalah hukum menurut istilah ahli fiqih.
               Tidak boleh disalahkan orang yang salah paham dalam memahami pengertian hukum syara’ menurut ahli ushul yaitu doktrin syar’i yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,bahwa hukum syara’ itu khusus pada nash.Karena nash itulah doktrin syar’i dan hukum itu tidak mencakup dalil-dalil syara’ yang lain;seperti qiyas,ijma atau lainnya.
               Tetapi,semua dalil-dalil syara’ selain nash,ketika diterapkan pada nashnya,maka hakikatnya adalah doktrin dari syar’i,hanya saja secara tidak langsung.Sehingga semua dalil syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf  baik;berupa tuntutan,pilihan atau ketetapan adalah hukum syara’ dalam istilah ahli ushul.
B.   MACAM-MACAM HUKUM
Dari pengertian hukum syara’menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam.Karena hukum itu adakalanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan atau berbentuk ketetapan.Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf  dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi,dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.Dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.[1]
1.      HUKUM TAKLIFI
a.     Pengertian
Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat ; menghendaki agar mukallaf  memilih antara melakukannya atau meninggalkannya.[2]
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah Swt:
خذ من اموالهم صدقة.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.”(QS.at Taubah:109)
و لله علي الناس حج البيت.
“Mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”(QS.Ali Imran:97)
يا ايها الذ ين امنوا اوفوا بالعقود.
“Hai orang-orang yang beriman,penuhilah akad-akad itu.”(QS.Al Maidah:1)
Adapun contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah Swt:
لايسخر قوم من قوم .
“Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain.”(QS.al  Hujurat:11)

ولا تقربوالزنا.
“Dan janganlah kamu mendekati zina.”(QS.al Israa’:32)
حرمت عليكم الميتة والد م و لحم الحنزير.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,darah dan daging  babi.”(QS.al Maidah:3)
               Sedangkan contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah firman  Allah Swt:
واذا حللتم فا صطادوا.
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,maka kamu boleh berburu.”(QS.al Maidah:2)
فاذاقضيت ا لصلاة فانتشروا في الارض.
“Apabila telah diturunkan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka bumi.”(QS.al Jumu’ah:10)
واذا ضربتم في الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلوة.
“Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi,maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat.”(QS.an Nisa:101)
             Hukum-hukum seperti contoh tersebut disebut Hukum Taklifi karena mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat,tidak berbuat dan memilih antara berbuat atau tidak.Alasan pemberian nama itu sudah jelas dalam hal tuntutan kepada mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat.Sedangkan untuk bentuk pilihan,pemberian nama itu tidak jelas,karena dalam hal ini tidak ada paksaan.Oleh karena itu Ulama Ushul mengatakan,”Pemberian nama Hukum Taklifi adalah secara “Taghlib”,yakni mengatakan salah satu diantara dua atau beberapa hal.[3]
b.    Macam-Macam Hukum Taklifi
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu Ijab (wajib), Nadb (sunnah), Ibahah (boleh), Karahah (makruh) dan Tahrim (haram).[4]

1.     Ijab (wajib)
                    Wajib menurut syara’ adalah tuntutan syar’i yang menuntut mukallaf untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan.Kewajiban  tuntutan tersebut telah ditunjukkan oleh adanya siksa jika meninggalkannya.
Contoh firman Allah:
كتب عليكم الصيام.
“Diwajibkan atas kamu berpuasa.”(QS,al Baqarah:183)
Puasa itu wajib karena bentuk kalimat yang menuntut puasa itu pasti.[5]
Pembagian wajib
               Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat:
a.     Ditinjau dari waktu pelaksanannya
Muaqqat (Dibatasi waktu);seperti shalat lima waktu.
Mutlaq (Tidak dibatasi waktu);seperti denda wajib atas orang yang bersumpah,pelaksanaan denda ini tidak ditentukan waktunya.Namun ia tetap wajib untuk membayar denda ketika ia menghendakinya.

b.     Ditinjau dari tuntutan menunaikannya
Wajib  ‘ain;adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing mukallaf.Seperti shalat,zakat,haji dan sebagainya.
Wajib kifayah; adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh kelompok mukallaf.Artinya,jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka kewajiban itu sudah ditunaikan dan gugurlah dosa dari mukallaf yang lain.Seperti shalat jenazah,memadamkan kebakaran,menyelamatkan orang yang tenggelam dan sebagainya.
c.      Ditinjau dari ukurannya
Muhadddad (Yang dibatasi);adalah kewajiban yang telah ditentukan ukurannya oleh syar’i.Seperti zakat,shalat lima waktu dan hutang piutang.
Ghairu muhaddad (Yang tidak dibatasi);adalah kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya oleh syar’i,tetapi mukallaf dituntut melakukan kewajiban tersebut.Seperti infaq di jalan Allah,tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya.
d.     Ditinjau dari sifatnya
Muayyan (Tertentu);adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i dengan sendirinya,seperti shalat,puasa,harga sesuatu yang dibeli,mengembalikan barang yang dighasab dan sebagainya.
Mukhayyar (pilihan);adalah salah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut oleh syar’i.Seperti salah satu bentuk denda tebusan.Allah Swt mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan budak.[6]
2.     Mandub (sunnah)
Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya.
Contoh firman Allah:
يايها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الي اجل مسمي فاكتبوه.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”[7]
Perintah menuliskan utang adalah sunnah artinya tidak wajib,dengan alasan yang ada pada ayat itu sendiri,yaitu firman Allah:
فان امن بعضكم بعضا فاليؤد الذي اؤتمن امانته.
“Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Dengan demikian,tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
Pembagian sunnah
a.      Sunnah yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan.Orang yang meninggalkan sunnah ini tidak mendapat siksa melainkan celaan.Yaitu perbuatan yang dianggap oleh syara’ sebagai penyempurna kewajiban seperti,berjamaah shalat lima waktu.
b.     Sunnah yang dianjurkan oleh syara’,pelakunya mendapatkan pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat siksa atau celaan.Seperti,bersedekah kepada fakir atau puasa hari senin kamis dan sebagainya.
c.      Sunnah tambahan,artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf.Seperti selalu menerapkan sunnah-sunnah Rasul SAW dalam kehidupan sehari-hari.[8]

3.     Muharram (haram)
Haram adalah sesuatu yang menuntut mukallaf untuk tidak mengerjakan sesuatu yang sudah menunjukkan kepastian mendapatkan dosa  jika mengerjakannya.Seperti firman Allah Swt:

انما الخمروالميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه.
“Sesungguhnya (meminum) khamr,berjudi,(berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan.”(QS.al Maidah:90)
Pembagian haram
a.      Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram.Artinya hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan.Seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci dan sebagainya.
b.     Haram karena sesuatu yang baru.Artinya suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban namun bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram.Seperti shalat dengan memakai baju gasab,jual beli yang mengandung unsur menipu dan sebagainya.[9]

4.     Makruh
Makruh adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa atau tidak pasti. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu,tidak dikenai hukuman.Misalnya hadis Nabi Muhammad Saw:

 “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).

5.     Mubah

Mubah adalah sesuatu yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat.Terkadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash syara’.Seperti firman Allah:

واذا حللتم فا صطادوا.
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan haji maka bolehlah berburu.”(QS.al Maidah:2)[10]


2.     HUKUM WADH’I
a.     Pengertian
Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi sebab,penghalang atau syarat bagi sesuatu yang lain.Seperti firman Allah Swt yang menetapkan kehendak mendirikan shalat sebagai sebab kewajiban wudhu:
ياايهاالذين امنوااذا قمتم الي الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الي المرافق.
“Hai orang-orang yang beriman,apabila kamu hendak mengerjakan shalat,maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.”(QS. al Maidah:6)
Hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi syarat bagi sesuatu yang lain seperti firman Allah Swt yang menetapkan kemampuan mengadakan perjalanan ke Baitullah sebagai syarat kewajiban haji:
ولله علي الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا.
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,yaitu (bagi) orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.”(QS. Ali Imran:97)
Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain seperti sabda Nabi Saw  yang menetapkan pembunuhan oleh ahli waris yang mewariskan sebagai penghalang pewarisnya:
لا يرس القاتل.
“Pembunuh tidak berhak mendapat waris.” [11]
b.Macam-Macam Hukum Wadh’i
               Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima.Berdasarkan penelitian,telah ditetapkan bahwa Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat,penghalang atau menjadikan adanya keringanan sebagai ganti dari hukum asaldan sah atau tidak sah.
1.      Sebab
Sebab adalah sesuatu yang kepadanya bergantung suatu hukum.Sebab juga dapat diartikan suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.Sebab  terkadang menjadi sebab pada Hukum Taklifi.Misalnya waktu yang menjadi sebab kewajiban mendirikan shalat.Seperti firman Allah Swt:
اقم الصلوة لدلوك االشمس.
“dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al Israa’:78)[12]
2.     Syarat
Syarat adalah sesuatu yang tampak dan sebagai tanda adanya hukum. Dalam arti lain syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya:
 “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.[13]
3.     Mani’ (penghalang)
Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum, yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya ditemukan adanya perkawinan yang sah tetapi salah satunya terhalang dalam mendapatkan hak waris yaitu adanya perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris atau ahli waris membunuh pewaris.[14]
4.     Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf  karena adanya uzur (halangan) dan alasan dalam keadaan tertentu atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan tersebut masih berlaku. ‘Azimah adalah hukum yang telah disyariatkan Allah secara umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu ataupun pada perorangan (mukallaf) tertentu.[15]

Macam-macam Rukhshah antara lain:
a.      Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau karena kebutuhan.Seperti seseorang yang menahan lapar atau dahaga yang amat sangat,yang memaksa ia untuk memakan bangkai atau arak.Allah Swt berfirman:
وقد فصل لكم ما حرم عليكم الا ما اضطررتم.
“...padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya ataasmu,kecuali apa yang terpaksakan memakannya.”(QS.al An’am:119)
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا اثم عليه.
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,maka tidak ada dosa baginya.”(QS.alBaqarah:173)
b.     Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur atau kesulitan menunaikannya.Seperti firman Allah Swt:

فمن كان منكم مريضا او علي  سفر فعدة من  ايام اخر.
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),maka (wajiblah ia berpuasa)sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”(QS.al Baqarah:184)
c.      Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat umum sebagai sahnya akad tersebut,hal itu berlaku dalam muamalah umat manusia dan menjadi kebutuhan mereka.Seperti akad pesanan,ini adalah jual beli yang pada saat akad barangnya tidak ada,tetapi telah berlaku di kalangan umat manusia dan telah menjadi kebutuhan.Dikatakan dalam sebuah hadist Rasulullah Saw:
نهي رسول الله صلي عليه وسلم عن بيع الانسان ما ليس عنده,ورخص في السلم.
“Rasulullah Saw melarang jual beli barang yang tidak ada padanya,tetapi Rasulullah Saw memberikan keringanan pada akad salam (pesanan).”
d.     Menghapus hukum-hukum yang telah diangkat oleh Allah dari kita.Dan hukum tersebut termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita.Seperti yang telah digambarkan Allah Swt dalam firman-Nya:
ربنا ولا تحمل علينا اصرا كما حملته علي الذين من قبلنا.
“Ya Tuhan kami,janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.”(QS.al Baqarah:286)
Seperti tuntutan memotong bagian baju yang terkena najis,membunuh diri untuk bertaubat dari maksiat,dilarang melaksanakan shalat selain di masjid dan membayar zakat sebesar seperempat dari harta.Dimana hukum tersebut diterapkan pada umat manusia sebelum kita.[16]
5.     Sah dan Batal
Sah menurut syara’ adalah perbuatan mukallaf yang memiliki pengaruh secara syara’.Bila yang dilakukan mukallaf adalah wajib;seperti shalat,puasa,zakat dan haji.Bila seorang mukallaf memenuhi rukun dan syaratnya,maka gugurlah kewajibannya dan ia terbebas dari beban.Ia berhak mendapatkan pahala di akhirat dan tidak berhak mendapat hukuman di dunia.
Tidak sah (batal) adalah tidak adanya pengaruh secara syara’.Bila seorang mukallaf melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh agama maka hal tersebut menjadi tidak sah menurut syara’.Sesuatu itu tidak sah disebakan cacatnya rukun atau tidak memenuhi syarat-syaratnya baik berupa ibadah,akad atau pengelolaan.[17]


C.   PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DENGAN HUKUM WADH’I
Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i seperti yang telah dijelakan oleh Prof Rahmat Syafi’i dalam bukunya yang berjudul Ilmu ushul fiqh, yaitu:

1.      Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih antara melakukan dan meninggalkan. Dalam hukum wadh’i  hal ini tidak ada, melainkan hanya mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat.
2.     Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan,  dilaksanakan atau memilih. Sedangkan hukum wadh’i tidak bermaksud untuk langsung dikerjakan oleh mukallaf. Hukum wadh’I ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum taklifi. Contohnya: zakat hukumnya wajib, akan tetapi kewajiban ini tidak  bisa dilaksanakan apabila hartanya tidak mencapai nisab  dan belum sampai tahun (haul)
3.      Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan ( haraj ) yang tidak sanggup dipikul oleh mukallaf. Dalam hukum wadh’i hal ini tidak dipersoalkan.
4.     Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal. Sedangkan hukum wadh’I ditujukan kepada seluruh manusia.[18]



































KESIMPULAN
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu wajib,sunnah, mubah, makruh dan haram.
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’i yaitu sebab; syarat; mani’ (penghalang); rukhshah (keringanan)’ Azimah;serta sah dan batal .
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i.  Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih diantara keduanya.Sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan atau  pilihan diantara keduanya harus diukur sesuai kemampuan mukallaf.Sedangkan hukum wadh’i tidak mengehendaki tuntutan atau pilihan yaitu hukum yang ditetapkan sebagai sebab akibat,syarat atau penghalang.Artinya,jika seorang mukallaf melakukannya maka ia akan menerima akibat atas apa yang telah ia lakukan.



































DAFTAR PUSTAKA

[1] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.138,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[2] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.144,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[3] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.139-140,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[4] Khallaf Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh: semarang. Dina Utama Semarang
[5] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.145,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[6] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.146-152,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[7] Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia

[8] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.154,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[9] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.156,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[10] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.158,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[11] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.142,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[12] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.162-163,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[13] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.164-165,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[14] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.166,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[15] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.167,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[16] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.167-174,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[17] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.175-176,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[18] http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/12/ushul-fiqh-perbedaan-antara-hukum.html,18/02/2016




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan kurikulum di Indonesia

PERBANDINGAN KURIKULUM DI INDONESIA Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Kurikulum Dosen Pengampu : Dr. Isof Syafei, M. Ag.    Disusun oleh : Hilda Lestari (115011613) KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL . INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2017 DAFTAR ISI Daftar Isi ............................................................................................................................... 1 BAB I Pendahuluan ......................................................................................................................... 2 Latar Belakang ..................................................................................................................... 2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 3 BAB II...
Hadits tentang sosial dan masyarakat Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hadits dan Pembelajarannya DOSEN : MUKAROM,M.AG.   Disusun oleh : Hilda Lestari KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 201 7 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan makhluk sosial dikarenakan pada diri manusia terdapat dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi.       ...