|
Hadits tentang sosial dan masyarakat
|
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hadits dan Pembelajarannya
DOSEN : MUKAROM,M.AG.
Disusun oleh : Hilda Lestari
KAMPUS
STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S
KPAD
GEGER KALONG BANDUNG 40153
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang di
dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia
dikatakan makhluk sosial dikarenakan pada diri manusia terdapat dorongan untuk
berinteraksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan
sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi.
Seorang muslim memiliki kewajiban untuk
menjaga hubungan dirinya dengan sesama manusia ( hablum minannas ). Di
dalam Al-Quran Allah berfirman di dalam surat An-Nisa
ayat 36 yang berbunyi :
۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ
بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ
وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦
“Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.”
Ayat tersebut mengandung dua bentuk akhlak, yaitu
akhlak kepada Allah (hablum minallah) yang ditunjukkan dengan perintah agar
kita menjalin hubungan baik kepada Allah dengan cara tidak menyekutukan-Nya
dengan yang lain. Dan akhlak terhadap sesama manusia (hablum minannas) yang
ditunjukkan dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, orang yang dalam perjalanan dan hamba sahaya.
Dalam hubunganya dengan sesama,
seorang muslim mempunyai kewajiban untuk saling peduli. Hal tersebut dapat
dimanifestasikan dalam berbagai hal, seperti saling menolong, memberi,
mengasihi dan lain sebagainya. Namun dalam kenyataanya masih banyak muslim yang
apatis terhadap tanggung jawab sosial tersebut.
Dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai hadits-hadits tentang pendidikan sosial dan masyarakat. Selain
terdapat hadits-hadits, ada pula ayat-ayat al Qur’an sebagai penguatnya.
Diharapkan dengan hal ini kita sebagai seorang muslim akan lebih peka terhadap
realita sosial yang ada. Karena itu merupakan kewajiban kita sebagai hamba-Nya
untuk saling mengasihi terhadap sesama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Adab Bertetangga
1.
Pengertian tetangga
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia tetangga adalah orang yang rumahnya (tempat
tinggalnya) berdekatan sebelah menyebelah. Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa
tetangga “الجارُ” adalah “الَّذِي أَجرته مِنْ أَن يَظْلِمَهُ
ظَالِمٌ”
orang yang memberikan kebaikan kepadamu dari sesuatu yang menyulitkan [1].
Dikatakan juga bahwa pengertian “الجارُ” adalah “المساكنة و الملاصقة، و الإعتكاف
في المسجد، و العهد و الأمان”
tinggal (didaerah) yang sama dan saling
berdekatan, berdiam di masjid, perjanjian dan ketentraman [2].
Ulama-ulama
dari pengikut mazhab syafi’i dan hanbali berpendapat bahwa batasan tetangga
adalah 40 rumah dari semua arah [3]. Mereka berpendapat demikian berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah Ra : { حق
الجار أربعون دار هكذا و هكذا و هكذا }[4]
Ulama dari kalangan malikiyah
merincikan bahwa tetangga adalah yang berdekatan dengan rumah dari berbagai
penjuru yang dihubungkan dengan jalan kecil, bukan yang dipisahkan oleh pemisah
yang besar seperti pasar atau sungai. Tetangga juga berarti
sekelompok orang yang masih bertemu dalam sebuah masjid atau dua mushola [5].
Dari
beragam pengertian tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa tetangga adalah,
pertama secara geografis berdekatan dan saling terhubung dengan batasan jarak
40 rumah dapat berarti kesegala arah ataupun pembagian darinya. Kedua dari segi psikologis tetangga adalah yang
memberikan pertolongan dan rasa aman. Ketiga dari
segi sosial tetangga adalah kelompok ibadah dalam masjid yang sama.
2.
Hadits-hadits
tentang adab bertetangga
a.
Kedudukan
Tetangga Bagi Seorang Muslim
Hak
dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia.
Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya”
(HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga
bagi seorang muslim sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَا
زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril
senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu
akan mendapat bagian harta waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Bukan berarti dalam hadits ini
Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak
memiliki hak dalam hal ini. Namun maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa
akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan
betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam”.[6]
b.
Perintah
memuliakan tetangga
Diriwayatkan
oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassallam bersabda
:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ
يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah menyakiti tetangganya,
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya,
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau
diam.”[7]
Hal ini menunjukkan akan pentingnya berakhlak dan bertingkah
laku yang baik dengan tetangga, bagaimana sikap seseorang dengan tetangganya
maka hal itu menunjukkan akan sempurna atau tidaknya keimanannya. Berkata Al-Hafizh (yang artinya): “Syaikh Abu
Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan, ‘Dan terlaksananya wasiat berbuat baik
kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa bentuk perbuatan baik kepadanya
sesuai dengan kemampuan. Seperti hadiah, salam, wajah yang berseri-seri ketika
bertemu, memperhatikan keadaannya, membantunya dalam hal yang ia butuhkan dan
selainnya, serta menahan sesuatu yang bisa mengganggunya dengan berbagai macam
cara, baik secara hissiyyah (terlihat) atau maknawi (tidak terlihat).”[8]
Kata tetangga mencangkup tetangga
yang muslim dan juga yang kafir, ahli ibadah dan orang fasik, teman dan lawan,
orang asing dan penduduk asli, yang memberi manfaat dan yang memberi mudharat,
kerabat dekat dan bukan kerabat dekat, rumah yang paling dekat dan paling jauh [9].
c.
Larangan
berbuat buruk terhadap tetangga
Disamping
anjuran, syariat Islam juga mengabarkan kepada kita ancaman terhadap orang yang
enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menafikan keimanan dari orang yang lisannya kerap
menyakiti tetangga. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
:
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا
يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ
جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman,
tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau
menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘”
(HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:
“Bawa’iq maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang
tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika
itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga
dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam
bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu
dan resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga
dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan
seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang
mukmin dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin,
3/178)
Bahkan
mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka.
Ada seorang sahabat berkata:
يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار،
وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار
“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering
shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah
bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani
dalam Shahih Adabil Mufrad 88)
Sebagaimana Imam Adz Dzahabi
memasukan poin ‘mengganggu tetangga’ dalam kitabnya Al
Kaba’ir (dosa-dosa besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan
mengapa wanita tersebut dikatakan masuk neraka: “Disebabkan ia mengamalkan
amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun ia malah memberikan gangguan yang
hukumnya haram dalam Islam” [10].
d. Larangan mengganggu
tetangga
Usahakan semaksimal mungkin untuk tidak
menghalangi mereka mendapatkan sinar matahari atau udara. Kita juga tidak boleh
melampaui batas tanah milik tetangga kita, baik dengan merusak ataupun
mengubah, karena hal tersebut dapat menyakiti perasaannya.
Dan
termasuk hak-hak bertetangga adalah tidak menghalangi tetangga untuk
menancapkan kayu atau meletakkannya di atas dinding untuk membangun kamar atau
semisalnya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasul kita shallallahu
‘alaihi wassallam yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
لاَ يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ
يَغْرِزَ خَشَبَةً فِى جِدَارِهِ
“Janganlah salah seorang di antara
kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dinding (tembok)nya”.
[11]
Akan
tetapi, diperbolehkannya menyandarkan kayu ke dinding tetangga dengan beberapa
syarat, pertama,
tidak merusak atau merobohkan dinding tembok;
kedua, dia sangat membutuhkan untuk meletakkan kayu itu di dinding tetangganya;
ketiga, tidak ada cara lain yang memungkinkan untuk membangun selain menyandarkan kepada tembok tetangga.
kedua, dia sangat membutuhkan untuk meletakkan kayu itu di dinding tetangganya;
ketiga, tidak ada cara lain yang memungkinkan untuk membangun selain menyandarkan kepada tembok tetangga.
Apabila
salah satu atau sebagian dari ketentuan di atas tidak dipenuhi maka tetangga
tidak boleh memanfaatkan bangunan dan menyandarkannya kepada tembok tetangganya
karena akan menimbulkan mudharat yang telah terlarang secara syari’at, “Tidak boleh memberi bahaya dan
membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah (no.2340); dan Syaikh
Al-Albani menshahihkannya (no.1910,1911))
e.
Memelihara hak-hak tetangga
Diantara hak tetangga yang harus kita
pelihara adalah menjaga harta dan kehormatan mereka dari tangan orang jahat
baik saat mereka tidak di rumah maupun di rumah, memberi bantuan kepada mereka
yang membutuhkan, serta memalingkan mata dari keluarga mereka yang wanita dan
merahasiakan aib mereka.
Adapun tetangga paling dekat memiliki
hak-hak yang tidak dimiliki oleh tetangga jauh. Hal ini dikutip dari pertanyaan
ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, manakah yang aku beri hadiah?’ Nabi
menjawab :
إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكَ باَباً
‘Yang
pintunya paling dekat dengan rumahmu’” (HR. Bukhari (no.6020); Ahmad
(no.24895); dan Abu Dawud (no.5155)).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassallam memerintahkan hal tersebut, diketahui bahwa hak tetangga yang paling
dekat lebih didahulukan daripada hak tetangga yang jauh. Diantara hikmahnya
adalah tetangga dekatlah yang melihat hadiah tersebut atau apa saja yang ada di
dalam rumahnya, dan bisa jadi menginginkannya. Lain halnya dengan tetangga
jauh. Selain itu, sesungguhnya tetangga yang dekat lebih cepat memberi
pertolongan ketika terjadi perkara-perkara penting, terlebih lagi pada
waktu-waktu lalai [12].
f.
Saling mengingatkan kepada kebaikan
Sudah seharusnya kita mengajak mereka
agar berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dengan bijaksana (hikmah)
dan nasehat baik, tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekan mereka.
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Tamim bin Aus Ad Dari
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wassallam bersabda, “Agama itu nasehat.” Kami (para shahabat)
bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
لِلَّهِ
وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya,
para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin”[13]
Dan nasehat untuk seluruh kaum muslimin
adalah termasuk tetangga kita. Tujuannya untuk memberikan kebaikan kepada
mereka, termasuk mengajarkan dan memeperkenalkan kepada mereka perkara yang
wajib, serta menunjukkan mereka kepada al-haq (kebenaran) [14].
B.
Adab Bersilaturahmi
1.
Pengertian silaturahmi
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahim
atau silaturahmi bermakna tali persahabatan atau persaudaraan. Dalam perspektif
bahasa Arab, Ahmad Warson dan Muhammad Fairuz mengungkap bahwa silaturahmi itu
sebagai terjemahan Indonesia dari bahasa Arab صلة الرحم .
Dilihat dari aspek tarkib, lafadz صلة الرحم
merupakan tarkib idhofi, yaitu tarkib (susunan) yang terdiri dari mudhof (صلة) dan mudhof ilaih (الرحم). Untuk memahami makna silaturahmi, maka
kami terlebih dahulu akan menjelaskan tentang makna صلة dan الرحم ,
kemudian makna silaturahmi.
Makna
silaturahmi secara harfiah adalah menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan
yang menghendaki kebaikan. Secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat
dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi menyebutkan, “Yaitu menyambungkan
kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”. Sementara itu
imam as-Shon’ani mendefinisikan bahwa silaturahmi adalah kiasan tentang berbuat
baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan kerabat bersikap lembut,
menyayangi dan memperhatikan kondisi mereka.
2.
Hadits-hadits
tentang adab bersilaturahmi
a. Keutamaan bersilaturahmi
Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisa’[4]:1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم
مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا
كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ
وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Berdasarkan
ayat ini, hukum bersilaturahmi adalah wajib, karena ia adalah perintah Allah.
Bersilaturahmi merupakan bentuk ketaatan kepada perintah-Nya. Dalam ayat
tersebut, perintah untuk menjalin hubungan silaturahmi ditempatkan setelah
perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT. Ini menunjukkan arti penting silaturahmi
dalam kehidupan.
Ali
ash-Shubuni dalam shafwah at-Tafsir menafsirkan,
diiringkannya perintah untuk bertakwa dan bersilaturahmi dalam ayat tersebut
menunjukkan bahwa interaksi antar manusia sangat penting. Sebab, semua manusia
berasal dari satu keturunan (yakni Nabi Adam a.s) dan mereka adalah bersaudara.
Jika manusia berpegang teguh pada ayat tersebut, niscaya mereka hidup dalam
kedamaian dan kesejahteraan.
Mengapa silaturahmi
begitu penting? Karena didalamnya terdapat banyak keutamaan (fadhilah), baik menyangkut kepentingan dunia
maupun akhirat. Tidak sedikit ayat al-Qur’an, hadits Nabi, maupun pendapat para
ulama yang menjelaskan tentang keutamaan silaturahmi. Secara terperinci,
keutamaan bersilaturahmi adalah sebagai berikut:
·
Silaturahmi adalah salah satu
indikator keimanan seseorang kepada Allah SWT dan hari akhir.
·
Silaturahmi termasuk salah satu amal
yang utama dan paling dicintai oleh Allah SWT.
·
Silaturahmi termasuk akhlak yang baik,
bahkan tergolong sebaik-baik akhlak penghuni dunia dan akhirat.
·
Orang yang bersilaturahmi tergolong
manusia yang baik.
·
Silaturahmi termasuk salah satu amal
yang dapat menghantarkan seseorang menuju surga dan menjauhkannya dariu neraka.
·
Silaturahmi termasuk amal yang dapat
meringankan hisab pada hari kiamat.
· Silaturahmi
dapat menghindarkan seseorang dari kematian yang buruk.
·
Menjalin silaturahmi dapat melapangkan
rezeki dan memperpanjang umur.
·
Orang yang bersilaturahmi dicintai
oleh Allah SWT.
·
Silaturahmi termasuk amalan yang
paling cepat mendatangkan pahala.
·
Silaturahmi termasuk amalan yang
menyebabkan terkabulnya doa.
·
Silaturahmi termasuk akhlak yang
terpuji yang dapat menangkal musibah.
·
Menjalin silaturahmi merupakan salah
satu cara seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya yang telah meninggal
dunia.Silaturahmi dapat menaikkan derajat seseorang yang melakukannya.
·
Silaturahmi dapat membentangkan
kemudahan bagi pelakunya dan menghindarkan dari kesulitan hidup.[15]
b. Orang yang bersilaturahmi akan diperluas
rizkinya, dipanjangkan umurnya.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ
عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ
فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab dia
berkata; telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya
dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (Bukhori.5527)
Pertama, tambahan
umur yang dimaksud adalah tambahan dari keberkahan umur karena mendapatkan
taufik kepada ketaatan, mengisi waktunya dengan perbuatan yang bermanfaat, dan
menjaganya dari perbuatan yang sia-sia. Serupa dengan hal ini apa yang
disebutkan Nabi bahwa umur umatnya lebih pendek dibandingkan umur umat-umat
terdahulu, maka Allah memberikan lailatul qadar kepada mereka. Mempererat
hubungan kekeluargaan menjadi sebab mendapatkan taufiq dan hidayah kepada
ketaatan dan dijaga dari kemaksiaatan maka setelah meninggal namanya akan tetap
harum seolah dia belum meninggal.
Kedua, tambahan
umur yang dimaksud adalah dipahami dalam arti yang sebenarnya. Hal ini ditinjau
dari segi ilmu malaikat yang ditugaskan mengurus umur manusia. Adapun yang
pertama sebagaimana yang diindikasikan oleh ayat maka ia akan dinisbatkan
kepada ilmu Allah. Seakan-akan diaktakan kepada malaikat, “umur fulan seratus
tahun, jika dia mempererat hubungan kekeluargaan dan 60 tahun jika dia
memutuskannya”. Sementara telah ada dalam ilmu Allah apakah orang itu sudah
mempererat hubungan kekeluargaan atau memutuskannya. Maka apa yang ada dalam
ilmu Allah tidak dimajukan dan tidak pula diakhirkan. Adapun yang ada dalam
ilmu malaikat inilah yang mungkin berkurang atau bertambah. [16]
b. Perintah
untuk memuliakan tamu
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُمُحَمَّدٍحَدَّثَنَاهِشَامٌأَخْبَرَنَامَعْمَرٌعَنْالزُّهْرِيِّعَنْأَبِيسَلَمَةَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهُعَنْالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَمَنْكَانَيُؤْمِنُبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِفَلْيُكْرِمْضَيْفَهُوَمَنْكَانَيُؤْمِنُبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِفَلْيَصِلْرَحِمَهُوَمَنْكَانَيُؤْمِنُبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِفَلْيَقُلْخَيْرًاأَوْلِيَصْمُتْ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Muhammad telah menceritakan kepada kami Hisyam telah mengabarkan kepada kami
Ma’mar dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi, dan
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau
diam.” (Bukhori.5673)
Agar
silaturahmi yang dijalin benar-benar membuahkan hikmah dan keutamaan, ada
beberapa aturan atau kode Etik yang perlu mendapat perhatian, diantaranya
adalah:
Pertama, niat untuk bersilaturahmi.
Jika dilandasi dengan harapan untuk memperoleh ridha Allah, niat untuk
bersilaturahmi akan dicatat sebagai amal yang baik dan berpahala. Sebaliknya,
silaturahmi yang diniatkan untuk tujuan duniawi hanya akan menghasilkan sesuatu
sesuai dengan apa yang diniatkan. Bukankah nilai sesuatu perbuatan tergantung
pada niatnya?
Sudah
menjadi kebiasaan umum ketika seseorang berkunjung kepada sanak kerabat,
sahabat, rekan kerja, atasan, dan sebagainya, ia akan mengatakan, “kedatangan
saya ke sini adalah untuk bersilaturahmi,” kemudian ia menyamppaikan maksud dan
kepentingannya.[17]
Terkadang
ada juga silaturahmi yang sekedar dijadikan “bumbu penyedap” atau pengantar
dari kepentingan tertentu, misalnya bersilaturahmi untuk membahas kerja sama,
bersilaturahmi untuk berutang, bersilaturahmi untuk meminta sumbangan,
bersilaturahmi untuk mengajukan lamaran, dan sebagainya.
Dengan
ini, maka untuk membedakan antara silaturahmi yang baik dan kurang baik adalah
dengan melihat niat.
Kedua,
mengetahui waktu yang tepat untuk bersilaturahmi. Bersilaturahmi dengan cara
bertamu sebaiknya tidak dilakukan setiap hari, karena yang demikian dapat
membuat tuan rumah merasa terganggu. Jadi, walaupun niat seseorang
bersilaturahmi adalah untuk mengharap ridha Allah, tetapi karena sikapnya dapat
mengganggu orang lain, maka ia tidak akan mendapat ridha-Nya.
Ketiga,
menjalin silaturahmi sesuai dengan tingkatan yang diatur oleh agama. Yaitu:
anggota keluarga, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, para tetangga,
sahabat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Memperhatikan tingkatan silaturahmi ini
dapat mendatangkan keutamaan tersendiri. Lain halnya bila seseorang berkunjung
ke rumah pejabat atau orang penting, misalnya, sementara dirinya hanya orang
biasa bisa jadi ia tidak terlalu diperhatikan.
Terkadang, bila seseorang ingin berkunjung ke rumah
“orang-orang penting”, ia membawa oleh-oleh supaya mendapatkan perhatian
istimewa. Padahal, oleh-oleh tersebut akan lebih tepat bila diberikan kepada
orang-orang yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan
para janda dari kalangan kerabat atau tetangga.[18]
c.
Hukum memutuskan tali
silaturahmi
Memutuskan
tali silaturahmi atau istilahnya Qath’u al-Rahim adalah memutuskan atau tidak
menyambung atau memangkas hubungan kekeluargaan. Qath’u al-rahim adalah kata
majemuk yang merupakan lawan dari kata Silaturahmi. Orang yang memutuskan
silaturahmi adalah orang yang dilaknat oleh Allah. Dosa yang dipercepat oleh
Allah untuk diberi siksa di dunia dan akhirat adalah memutuskan silaturahmi
(selain berbuat zalim). Orang yang
memutuskan silaturahmi doanya tidak dikabulkan oleh Allah. 0rang yang
memutuskan silaturahmi tidak akan masuk surga. Bila dalam suatu kaum terdapat
orang yang memutus silaturahmi, maka kaum itu tidak akan mendapat rahmat dari
Allah Sebagai mana Allah berfirman dalam al qur’an (QS. Muhammad :22-23).
“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu
akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?
Mereka Itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka
dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ
قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ
تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ
وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً
نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada
Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi melainkan Allah
akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2]
Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan
menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan,
“Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas berkata,” Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a
kalian”.” (HR. Ahmad).
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ
الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يُدَّخَرُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ
الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang Allah SWT lebih percepat
siksaan kepada pelakunya di dunia, serta yang tersimpan untuknya di akhirat
selain perbuatan zalim dan memutuskan tali silaturahmi” (HR Tirmidzi).
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidak
akan masuk surga orang yang memutuskan (silaturahmi)” (HR Bukhari dan Muslim).
لاَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ عَلَى قَوْمٍ فِيْهِمْ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Rahmat tidak akan turun kepada kaum yang
padanya terdapat orang yang memutuskan tali silaturahmi (HR Muslim).
Dengan
demikian, akan terwujud rasa kasih sayang yang terjalin dalam jalinan ukhuwah Islamiyah.
Nikmatnya ukhuwah Islamiyah akan terasa bila sesama kita juga mengerti akan
pentingnya saling membantu dalam kebaikan. Itulah yang kita harapkan.
Setiap
orang memliki karakter tersendiri. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar bila
perselisihan bisa terjadi antar sesama kita. Apalagi tanpa dibentengi oleh iman
yang kokoh. Perbedaan pendapat, mementingkan diri sendiri atau golongan,
merupakan awal dari perpecahan. Dampak yang ditimbulkan bila silaturahmi
diantara kita putus, sangatlah besar. Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Segala
amalnya tidak berguna dan tidak berpahala. Walaupun kita telah beribadah dengan
penuh keikhlasan, siang dan malam, tetapi bila kita masih memutus tali
silaturahmi dan menyakiti hati orang-orang Islam yang lain, maka amalannya
tidak ada artinya di sisi Allah SWT.
2. Amalan
salatnya tidak berpahala. Sabda Rasulullah SAW: “Terdapat 5 macam orang yang
salatnya tidak berpahala, yaitu: Istri yang dimurkai suami karena
menjengkelkannya, budak yang melarikan diri, orang yang mendendam saudaranya
melebihi 3 hari, peminum khamar dan imam salat yang tidak disenangi makmumnya.”
3. Rumahnya
tidak dimasuki malaikat rahmat. Sabda Raslullah SAW: “ Sesungguhnya malaikat
tidak turun kepada kaum yang didalamnya ada orang yang memutuskan silaturahmi.
4. Orang
yang memutuskan tali silaturahmi diharamkan masuk surga. Sabda Rasulullah SAW:
“Terdapat 3 orang yang tidak akan masuk surga, yaitu: orang yang suka minum
khamar, orang yang memutuskan tali silaturahmi dan orang yang membenarkan
perbuatan sihir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam
merupakan agama yang sangat memperhatikan hubungan antar sesama manusia. Hal
itu digambarkan dengan adanya berbagai syariat tentang hubungan manusia baik
yang menyangkut hubungan keluarga maupun masyarakat. Untuk mempererat hubungan
antar masyarakat, Islam menentukan adab-adab bertetangga. Kemudian untuk
mempererat hubungan antar keluarga, Islam mensyariatkan silaturahmi.
Dalam
Islam, hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar
dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi
keimanan. Islam pun telah menentukan larangan-larang berbuat buruk kepada
tetangga dan kita diwajibkan untuk memelihara hak-hak tetangga. Demikian juga mengenai keutamaan
bersilaturahmi, silaturahmi memiliki kedudukan yang sangat penting. Al-Quran
menggambarkan bahwa silaturahmi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan ibadah
seorang hamba kepada Rabb-nya. Dan hadits melukiskan bahwa orang yang
senantiasa silaturahmi akan dipanjangkan umurnya serta diperluas rizkinya.
Selain
itu banyak keterangan yang menjelaskan bahwa orang yang memutuskan hubungan
silaturahmi tidak akan masuk surga, amalnya tidak akan diterima, serta masih
banyak ancaman yang lainnya. Oleh karena itu, sebagai muslim kita harus
senantiasa memelihara silaturahmi demi keselamatan dunia akhirat.
B. Daftar Pustaka
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih
al-bukhari. Bairut:
Darul Ibnu Katsir. Amiruddin,”Tarjamahan
Fathul BaariIbnu Hajar al-Atsqalani” jakarta:Pustaka
Azzam,2008. Masrur. M.Fatih,”Adab
Silaturahmi”,Jakarta:Cv.Artha Rivera,2007. Fathul Bari bi Syarhi Shohih al-Bukhori. Kairo
: Dar al-Hadits Iz-Zuddin, (1996). Kasyful
Musykil mim Hadits
ash-Shahihain karya
Ibnul Jauzi (IV/219). Syarh
Riyadhis Shalihin, PDF. https://muslimah.or.id/6632-adab-bertetangga.html. http://quran-hadis.com/hadis-tentang-silaturrahmi/. Lisanul Arab, 4/154. Maushuat al Fiqhiyyah, 16/216. Al Mughny,
6/124 & Kasyaful Qina’ 4/363. Syarhu ash shogir 4/747. Shahih al Bukhari.
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari
syaikhnya Muhammad bin Jami’ al Athor. Hadits ini lemah lihat majma
az zawaid 8/168
[8] (Fathul Baari:
X/456).
[11]
(HR.Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafazh hadits ini menurut riwayat
beliau; Ahmad (no.7236); at-Tirmidzi (no.1353); Abu Dawud (no.3634); Ibnu Majah
(no.2335); dan Malik (no.1462)).
[15] M.Fatih Masrur,”Adab Silaturahmi”,
(Jakarta:Cv.Artha Rivera,2007).hlm.45
[16] Amiruddin,”Tarjamahan Fathul BaariIbnu
Hajar al-Atsqalani” (Jakarta:Pustaka Azzam,2008)hlm.56-58
[17] M. Fatih Masrur, Adab Silaturahmi,
(Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), hlm, 77.
Komentar
Posting Komentar