Langsung ke konten utama

Hadist Makbul

HADITS MAKBUL 
 











Disusun oleh : Hilda Lestari

KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S
KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153
2016


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................................... 1
BAB I ........................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ........................................................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqbul ........................................................................................................................................... 3
B. Syarat-syarat Hadits Maqbul ........................................................................................................................................... 3
C. Macam-macam Hadits Maqbul ........................................................................................................................................... 5
     1. Sahih Liżātihi ........................................................................................................................................... 5
     2. Sahih Lighairihi ........................................................................................................................................... 5
     3. Hasan Liżātihi ........................................................................................................................................... 6
     4. Hasan Lighairihi ........................................................................................................................................... 7
BAB III ........................................................................................................................................... 8
KESIMPULAN................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................ 8
                                       
















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Para ulama muhadditsin telah menetapkan suatu pengkajian yang komperenship tentang hadits. Semuanya dirumuskan dalam salah satu ilmu yang esensial dalam agama islam yakni ilmu hadits. Dalam usaha untuk menjadikan hadits sehingga bisa menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya, maka sangatlah diperlukan pemeriksaan kerena untuk mendapatkan hadits ini tidaklah mudah perlu pengkajian tentang keberadaanya dan sumbernya.
            Hadits memiliki posisi kedua tepatnya setelah Alquran. Sebab, Hadits  befungsi sebagai penjelas bagi Alquran dan memiliki otoritas dalam menjelaskan hal-hal  yang tidak disentuh Alquran secara langsung. Di masa Rasulullah SAW permasalahan tentang penelitian Hadits tidak dibutuhkan, karena bagi siapa yang ingin menanyakan Hadits dapat bertanya langsung kepada Rasulullah SAW. Adapun setelah wafat Rasulullah SAW, berbicara tentang hal itu sangat penting dikarenakan banyaknya pemalsuan Hadits.
Untuk membendung pemalsuan Hadits, Ulama Islam memberikan perhatian yang besar dimulai dari pembukuan sampai pada penyeleksian. Hadits-hadits yang dapat diterima dan diamalkan disebut hadits maqbūl. Untuk membuktikan sebuah hadits para ahli Hadits merumuskan syarat-syarat harus dipenuhi. Apabila syarat hadits tersebut tidak lengkap, maka hadits itu tidak dapat diterima.
B.    Rumusan Masalah
            1. Apakah pengertian hadits maqbūl ?
            2. Apakah syarat-syarat hadits maqbūl ?
            3. Seperti apa klasifikasi hadits maqbūl ?
C.    Tujuan
            1. Mengetahui pengertian hadits maqbūl
            2. Mengetahui syarat-syarat hadits maqbūl
            3. Mengetahui klasifikasi hadits maqbūl











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Maqbul
Secara bahasa, kata maqbūl memiliki banyak makna, di antaranya adalah sesuatu yang diambil, yang diperkenankan dan yang dibenarkan[1].Adapun secara istilah, Mamud aṭ-Ṭaḥḥān mendefinisikan:
 " ما ترجح صدق المخبر به " [hadits yang kejujuran pembawa beritanya lebih kuat ][2].
Definisi di atas memberikan pengertian bahwa sebuah hadits yang disampaikan ada dalam dua kemungkinan dipercaya dan tidak. Apabila kepercayaan terhadap pembawa berita lebih kuat dengan tanda-tanda yang mengiringinya, maka berita tersebut dapat diterima. Namun, jika kepercayaan itu sangat sedikit atau kurang, maka hadits tersebut tidak dapat diterima.
B.    Syarat-syarat  Hadits Maqbul
1.     Bersambungnya sanad
            Dari awal sanad sampai akhir diharuskan adanya suatu ikatan ilmu di antara perowi sanad. Artinya, seorang perowi bertemu dengan orang yang mendapat hadits secara langsung dalam penyampaian haditst. Diantara kedua perowi hadits memiliki jarak masa atau tempat yang sama.[3]

2.     Adil
            Seorang perowi yang bersifat adil. Perawi yang adil ialah orang yang memenuhi syarat berikut:
a.      Islam; Tidak boleh diterima hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang bukan Islam sekalipun ia ahli kitab.
b.     Baligh; Tidak boleh diterima hadits yang diriwayatkan oleh anak-anak.
c.      Berakal; Tidak boleh diterima hadits yang diriwayatkan oleh orangh gila.
d.     Tidak fasik; Ialah melakukan dosa-dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
e.      Menjaga maruah; Nama baiknya terjaga. Yaitu hendaklah seorang perowi itu bersikap selayaknya sesuai kedudukannya. Sekiranya beliau seorang ulama, maka ia akan bersikap selayaknya seorang ulama dan tidak bersikap seperti penjual. [4]

3.     Penjagaan riwayat
            Bahwa setiap perowi memiliki hafalan yang sempurna.[5] Hafalannya terhindar dari kesalahan atau kesamaran. Semua ini disyaratkan pada setiap perawi hadits dari awal sanad hingga akhir. Jenis penjagaanya:
a.      Penjagaan di dalam dada
Seorang perowi menghafal apa yang didengarnya dan beliau dapat menyampaikan apa yang ia dengar sama persis ketika ia mendengarnya.
b.     Penjagaan dalam penulisan
Seorang perowi menjaga terhadap apa yang ia tulis setelah membuat pembetulan, memperbaiki tulisan dan membuat pengiktirafan terhadapnya serta menjaganya dari orang lain yang ingin  mempermainkan atau membuat pemalsuan.

4.     Selamat dari kecacatan
            Yaitu haditsnya tidak boleh beda sendiri. Artinya tidak ada perbedaan antara perawi yang lebih dipercaya atau lebih diyakini, karena kecacatan ialah terdapat perselisihan antara perawi yang dipercayai dan perawi yang lebih diyakini yaitu terdapat tambahan atau kekurangan pada riwayat yang dibawa oleh perowi tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat perbedaan antara dua riwayat maka akan menghalangi keshahihan hadits.

5.     Selamat dari illat 
            Hadits pada zahirnya adalah terkumpul mengikuti  syarat-syarat shahih.[6] Illat adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai kesahihan hadits[7]. Dengan demikian, hadits harus diteliti sedemikian rupa agar tidak tercampur antara hadits yang kuat dan yang lemah, antara hadits yang asli dan hadits yang palsu.

6.     Āḍid 
            Āḍid diperlukan ketika dibutuhkan. Yang dimaksud dari āḍid adalah datangnya hadits dari sanad yang lain atau jalur yang lain mengangkat kelemahan yang terdapat pada sanad pertama, atau mengangkat sebuah hadits dari satu derajat kepada yang lebih kuat[8]. Namun, perlu ditekankan bahwa hadits lemah yang dapat naik derajatnya adalah hadits yang kelemahannya ringan seperti sanadnya terputus dan terdapat perawi yang lemah dalam hafalannya. Adapun hadits yang sangat lemah disebabkan adanya perawi yang pendusta dalam sanadnya, maka tidak dapat naik kepada maqbūl.
            Hadits yang datang dari jalur lain bisa jadi berbentuk mutābi’ atau syāhid. Mutābi’ adalah  adalah hadits yang serupa dengan hadits yang lain dari siapa yang boleh diriwayatkan haditsnya yaitu ia meriwayatkan hadits dari gurunya atau guru-gurunya. Keserupaan dari dua hadits terdapat pada matan haditsnya atau maknanya disertai hadits tersebut berasal dari Sahabat yang sama, sedangkah syāhid adalah hadits yang serupa dengan hadits yang lain secara makna atau lafal, akan tetapi berasal dari Sahabat yang berbeda [9].





C.    Macam-macam Hadits Maqbul
            Hadits Maqbul  terbagi kepada dua macam yang pokok menurut aspek keterkaitan pada kedudukannya yaitu :  Shahih( صحيح )  dan Hasan ( حسن ). Dan dari dua macam tersebut terbagi kepada dua macam yaitu Lidzatihi    ( لذاته )dan Lighairihi   ( لغيره ).
1.     Sahih Liżātihi
            Adalah hadits yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh perawi yang adil ḍābiṭ tām dari awal sanad hingga akhir sanad, terlepas dari bertentangan dan ‘illah [10]. Ibnu Shalah menyatakan bahwa lima kriteria di ataslah yang menjadikan sebuah hadits menjadi sahih. Kadang mereka berselisih dalam menentukan kesahihan sebagian hadits disebabkan perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya kriteria tersebut dalam hadits [11]. Misal dari hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Sahih Muslim, kitab (11) al-janā’iz, hadits nomor 1 dan 2, teksnya berbunyi:

حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِىُّ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ كِلاَهُمَا عَنْ بِشْرٍ  قَالَ أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ - حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُمَارَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ »
(Muslim berkata): Abū Kāmil al-Jahdarī Fuḍail ibn al-Ḥusain dan Uṡmān ibn Abī Syaibah menceritakan kepada kami(mereka berkata), dari Bisyr. Abū Kāmil berkata: Bisyr ibn al-Mufaḍḍal menceritakan kepada kami (ia berkata) ‘Umārah ibn Gazīyah menceritakan kepada kami (ia berkata), Yaḥya ibn ‘Umārah menceritakan kepada kami (ia berkata): saya mendengar Abū Sa’īd al-Khudrī berkata: Rasulullah SAW. bersabda, “talqinkan (bacakan,tuntun) mautākum perkataan: lā Ilāha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)”.[12]
          Setelah diteliti diketahui bahwa seluruh perawi yang terdapat dalam sanad imam Muslim di atas bahwa sanadnya bersambung, seluruh perawinya ṡiqah, tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat dan tidak ada ‘illah­nya. Dengan demikian, hadits di atas dinilai sahih.

2.     Sahih Lighairihi
          Hadits sahih lighairihi adalah hadits hasan yang diriwayatkan dari jalur yang lain yang sederajat atau lebih. Hadits ini dinamakan sahih lighairihi, karena kesahihan hadits tersebut tidak datang dari sanadnya, akan tetapi melalui jalur yang lain [13]. Misalnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmiżī dalam Sunannya, bab as-siwāk, hadits nomor 22, teksnya berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسَّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
(At-Tirmiżi berkata): Abū Kuraib menceritakan kepada kami(ia berkata), Abdah bin Sulaiman menceritakan kepada kami, dari Muḥammad bin Amri, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “ kalaulah tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap ingin melaksanakan salat) [14].

          Ibnu aṣ-Ṣalāh mengatakan Muhammad bin Amru adalah seorang perawi yang dikenal kejujurannya, akan tetapi ia dinilai tidak termsuk seorang yang teliti dalam hadits. Oleh sebab itu, sebagian melemahkannya dan sebagian lain menguatkannya. Dengan itu hadits ini adalah hasan.  Hadits ini diriwayatkan dari jalur lain sehingga bisa mengangkat derajatnya kepada sahih [15]. Inilah yang dimakusd dengan hadits sahih lighairihi.
          Adapun hadits di atas dari jalur lain diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dalam Sunanya, kitab aṭ-Ṭahārah, bab as-siwāk, hadits nomor 47 [16], teksnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »
(Abu Dawud berkata Ibrāhīm bin Mūsā menceritakan kepada kami(ia berkata), ‘Isā bin Yunus mengabarkan kepada kami(ia berkata), Muhammad bin Ishāq, dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimī, dari Abu Salamah bin Abd ar-Raḥmān, dari Zaid bin Khālid al-Juhani berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “kalaulah tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap ingin melaksanakan salat.                                 
            Hadits ini dinilai para ulama sahih, di antara mereka adalah imam Albani. Dengan ini hadits yang diriwayatkan oleh at-Tarmiżi naik ke derajat sahih dengan diperkuat hadits yang diriwayatkan Abū Dawud.                                                                                                            
3.     Hasan Liżātihi
            Hadits hasan liżātihi adalah hadits yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh para perawi yang siqah, akan tetapi salah satu atau lebih dari perawi keḍabiṭannya ringan tanpa ada syużūż dan ‘illah [17]. Perbedaan antara hadits sahih dan hasan terletak pada keḍabiṭan perawinya, inilah yang membuat hadits hasan di bawah derajat hadits sahih.
Contoh hadits hasan liżātihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmizi dalam Sunannya, bab anna al-jannah taḥta ẓilāl as-suyūf,hadits nomor 19 [18], teksnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، قَال: سَمِعْتُ أَبِي، بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ»
(at-Tirmiżī berkata): Qutaibah menceritakan kepada kami(ia berkata), Ja’far bin Sulaiman aḍ-Ḍiuba’ī menceritakan kepada kami, dari Abi Imrān, dari Abī Bakr bin Abī Mūsā al-Asy’arī, ia berkata: aku mendengar ayahku berkata di hadapan musuh: Rasulullah SAW bersabda, “ sesungguhnya pintu-pintu surga ada di bawah naungan pedang”.
            Hadits ini adalah hasan, karena seluruh perawi adalah ṡiqah kecuali Ja’far bin Sulaimān. Ja’far dikenal sebagai perawi ṣadūq pada kalangan ahli Hadits. Dengan itu hadits di atas turun dari sahih kepada hasan.
4.    Hasan Lighairihi
            Hadits hasan ligairihi adalah hadits daif  yang ringan apabila diriwayatkan dari jalur lain sederajat atau lebih  [19]. Dari pengertian di atas, dipahami bahwa hadits daif terbagi kepada daif berat dan daif ringan. Daif berat misalnya seorang perawi dikenal sebagai pendusta atau hadits yang bertentangan dengan hadits yang lebih kuat. Adapun daif ringan seperti dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah dalam hapalannya atau telah pikun. Apabila ada riwayat lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut dapat diterima. Ibnu Hajar mengatakan banyaknya jalur sebuah riwayat dengan perbedaan sumbernya menambah kuatnya matan hadits[20].
Contoh dari hadits hasan ligairih adalah hadits riwayat  imam at-Tirmiżī dalam Sunannya, kitab al-janāiz, bab anna al-mu’min yamūtu bi ‘arq al-jabīn, hadits nomor 982 [21], teksnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ المُثَنَّى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الجَبِينِ»
(at-Tirmiżī berkata): Muhammad bin Basysyār menceritakan kepada kami(ia berkata), Yaḥyā bin Sa’īd menceritakan kepada kami, dari al-Muṡannā bin Sa’īd, dari Qatadah, dari Abillah bin Buraidah, dari ayahnya dari nabi SAW, ia bersabda, “ seorang mukmin mati dengan berkeringat di dahinya).
            Imam at-Tirmizi mengatakan bahwa sanad hadits ini terputus antara Qatadah dan Abdullah. Dengan demikian, hadits ini adalah daif. Akan tetapi hadits ini diriwayatkan juga dari jalur lain sehingga kedaifannya dapat naik kepada hasan ligairih. Imam an-Nasā’ī meriwayatkan dalam Sunannya, kitab al-janāiz, bab ‘alāmah maut al-mu’min, hadits nomor 1955, teksnya :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ، عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ»
(An-Nasā’ī berkata):Muhammad bin Ma’mar mengabarkan kepada kami(ia berkata), Yusūf bin Ya’qūb menceritakan kepada kami(ia berkata), Kahmas menceritakan kepada kami, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ seorang mukmin mati dahinya berkeringat).
BAB III
KESIMPULAN
Hadits yang dapat diterima sebagai hujjah disebut dengan hadits maqbul, dengan klasifikasinya terbagi menjadi hadits shohih dan hadits hasan. Sebuah hadits dapat diterima sebagai dalil apabila ia sampai kepada derajat maqbūl.  Hadits maqbūl adalah hadits yang kemungkinanya bersumber dari Rasulullah SAW. lebih kuat bila dibandingkan dengan ketidak mungkinannya. Untuk membuktikan sebuah hadits apakah maqbūl atau tidak, para ulama memberikan kriteria yang harus dipenuhi. Jika kriteria itu tidak lengkap, maka hadits itu tidak dapat diterima.  
Hadits maqbūl memiliki pembagian sesuai dengan tingkatannya kepada sahih liżatih, sahih ligairih, hasan liżātih dan hasan ligairih. Ketika sebuah hadits memenuhi seluruh kriteria di atas maka ia menjadi sahih. Namun, apabila kapasitas hafalan salah seorang perawi ringan maka berubah menjadi hasan. Jika memiliki jalur lain, maka ia bisa naik kepada sahih ligairih. Hadits daif membutuhkan jalur lain yang menguatkannya yang disebut dengan mutābi  dan syāhid.

DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Arabiah Mujamma’ al-Lugah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, cet. 4. Mesir: Maktabah asy-Syurūq ad-Dauliah, 2004.
E-Book Mushtholah Hadits www.love-is-rasa.blogspot.com
Asqalānī, Ibnu Ḥajar, Nuzhah an-Naẓr, cet.3. Madinah: al-maktabah al-‘Ilmiah, 1975
Dawud, Abū, Sunan Abī Dawud. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul hadits. Bandung: PT ALMA’ARIF, 1972
Hāsyim, Aḥmad Umar,  Qawā’id Uṣūl al-Ḥadīṡ. Kairo: al-Ma’had al-Ali li ad-Dirāsāt al-Ulyā, 2009
Al-Ḥajjāj, Muslim ibn,  Ṣaḥīḥ Muslim. Rīyāḍ: Bait al-Afkār ad-Dauliyah, 1998.
Al-Khusyu’ī al-Khusyu’ī Muḥammad, al-Wajīz fi ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Kairo: Jāmi’ah al-Azhar, 2008.
Aṭ-Ṭaḥḥān Maḥmūd, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, cet.7. t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H.
At-Tirmiżī, Abu ‘Isā, Sunan at-Tirmiżī. Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāṡ al-‘Arabī, t.t  
Al-Quḍāh, Syaraf, al-Minhaj al-Ḥadīṡ.Ordon: t.p, t.t





[1] Mujamma’ al-Lugah al-‘Arabiah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, cet. 4 (Mesir: Maktabah asy-Syurūq ad-Dauliah, 2004), h. 742
[2] Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, cet.7 (t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H), h. 30
[3] Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, cet.7 (t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H), h. 34
[4] Mushtholah Hadits www.love-is-rasa.blogspot.com , h,24
[5] Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, cet.7 (t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H), h. 34
[6]  Mushtholah Hadits www.love-is-rasa.blogspot.com , h,25
[7]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul hadits (Bandung: PT ALMA’ARIF, 1972), h. 123
[8]  Khusyu’ī, al-Wajīz, h. 98
[9]  Ahmad Umar Hāsyim, Qawā’id Uṣūl al-Ḥadīṡ, (Kairo: al-Ma’had al-Ali li ad-Dirāsāt al-Ulyā, 2009), h. 174
[10] Khusyu’ī, al-Wajīz, h. 100 
[11] Ibnu Ṣalāh, Ma’rifah fi Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 2002), h. 80
[12] Muslim ibn Al-Ḥajjāj,  Ṣaḥīḥ Muslim (Rīyāḍ: Bait al-Afkār ad-Dauliyah, 1998), h. 356
[13] Ṭaḥḥān, Taisīr, h. 43
[14] Abu ‘Isā at-Tirmiżī, Sunan at-Tirmiżī (Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāṡ al-‘Arabī, t.t, jilid. I, h. 34
[15] Ṭaḥḥān, Taisīr, h. 44
[16] Abū Dawud, Sunan Abī Dawud (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t), jilid. I, h. 17
[17] Syaraf al-Quḍāh, al-Minhaj al-Ḥadīṡ(Ordon: t.p, t.t), h. 186
[18] Tirmiżī, Sunan,  jilid. IV, h. 186
[19] Quḍāh, al-Minhaj,  h. 188
[20] Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, Nuzhah an-Naẓr, cet.3 (Madinah: al-maktabah al-‘Ilmiah, 1975), h. 38
[21] Tirmiżī, Sunan,  jilid. III, h. 310

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan kurikulum di Indonesia

PERBANDINGAN KURIKULUM DI INDONESIA Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Kurikulum Dosen Pengampu : Dr. Isof Syafei, M. Ag.    Disusun oleh : Hilda Lestari (115011613) KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL . INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2017 DAFTAR ISI Daftar Isi ............................................................................................................................... 1 BAB I Pendahuluan ......................................................................................................................... 2 Latar Belakang ..................................................................................................................... 2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 3 BAB II...

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih DOSEN : MUKAROM,M.AG. Nama : Hilda Lestari 115011613 KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2016 PENDAHULUAN Para Ulama sepakat bahwa tindakan manusia;baik berupa perbuatan maupun ucapan,dalam hal ibadah maupun muamalah,berupa tindakan perdana maupun tindakan perdata,masalah akad atau pengelolaan,dalam syariat Islam seluruhnya masuk dalam wilayah hukum.Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah dan sebagian tidak.Namun Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya,sehingga seorang Mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut. Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan ...
Hadits tentang sosial dan masyarakat Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hadits dan Pembelajarannya DOSEN : MUKAROM,M.AG.   Disusun oleh : Hilda Lestari KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 201 7 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan makhluk sosial dikarenakan pada diri manusia terdapat dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi.       ...