Disusun oleh : Hilda Lestari
KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD
JL.INTEDANS NO.77S
KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153
2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................................... 1
BAB I ........................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ........................................................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqbul ........................................................................................................................................... 3
B. Syarat-syarat Hadits Maqbul ........................................................................................................................................... 3
C. Macam-macam Hadits Maqbul ........................................................................................................................................... 5
1. Sahih Liżātihi ........................................................................................................................................... 5
2. Sahih Lighairihi ........................................................................................................................................... 5
3. Hasan Liżātihi ........................................................................................................................................... 6
4. Hasan Lighairihi ........................................................................................................................................... 7
BAB III ........................................................................................................................................... 8
KESIMPULAN................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................ 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para ulama muhadditsin
telah menetapkan suatu pengkajian yang komperenship tentang hadits. Semuanya
dirumuskan dalam salah satu ilmu yang esensial dalam agama islam yakni ilmu
hadits. Dalam usaha
untuk menjadikan hadits sehingga bisa menjadi pegangan dan diyakini
kebenarannya, maka sangatlah diperlukan pemeriksaan kerena untuk mendapatkan
hadits ini tidaklah mudah perlu pengkajian tentang keberadaanya dan sumbernya.
Hadits
memiliki posisi kedua tepatnya setelah Alquran. Sebab, Hadits befungsi
sebagai penjelas bagi Alquran dan memiliki otoritas dalam menjelaskan
hal-hal yang tidak disentuh Alquran secara langsung. Di masa Rasulullah
SAW permasalahan tentang penelitian Hadits tidak dibutuhkan, karena bagi siapa
yang ingin menanyakan Hadits dapat bertanya langsung kepada Rasulullah SAW.
Adapun setelah wafat Rasulullah SAW, berbicara tentang hal itu sangat penting
dikarenakan banyaknya pemalsuan Hadits.
Untuk membendung
pemalsuan Hadits, Ulama Islam memberikan perhatian yang besar dimulai dari
pembukuan sampai pada penyeleksian. Hadits-hadits yang dapat diterima dan
diamalkan disebut hadits maqbūl. Untuk membuktikan sebuah hadits
para ahli Hadits merumuskan syarat-syarat harus dipenuhi. Apabila syarat hadits
tersebut tidak lengkap, maka hadits itu tidak dapat diterima.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian hadits maqbūl ?
2.
Apakah syarat-syarat hadits maqbūl ?
3.
Seperti apa klasifikasi hadits maqbūl ?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian hadits maqbūl
2. Mengetahui
syarat-syarat hadits maqbūl
3. Mengetahui
klasifikasi hadits maqbūl
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqbul
Secara
bahasa, kata maqbūl memiliki banyak makna, di antaranya adalah
sesuatu yang diambil, yang diperkenankan dan yang dibenarkan[1].Adapun
secara istilah, Mamud aṭ-Ṭaḥḥān mendefinisikan:
Definisi di
atas memberikan pengertian bahwa sebuah hadits yang disampaikan ada dalam dua
kemungkinan dipercaya dan tidak. Apabila kepercayaan terhadap pembawa berita
lebih kuat dengan tanda-tanda yang mengiringinya, maka berita tersebut dapat
diterima. Namun, jika kepercayaan itu sangat sedikit atau kurang, maka hadits
tersebut tidak dapat diterima.
B.
Syarat-syarat Hadits Maqbul
1.
Bersambungnya sanad
Dari awal sanad sampai akhir
diharuskan adanya suatu ikatan ilmu di antara perowi sanad. Artinya, seorang
perowi bertemu dengan orang yang mendapat hadits secara
langsung dalam penyampaian haditst. Diantara kedua perowi hadits memiliki jarak
masa atau tempat yang sama.[3]
2.
Adil
Seorang perowi yang bersifat adil. Perawi
yang adil ialah orang yang memenuhi syarat berikut:
a.
Islam; Tidak boleh
diterima hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang bukan Islam sekalipun ia
ahli kitab.
b.
Baligh; Tidak boleh
diterima hadits yang diriwayatkan oleh anak-anak.
c.
Berakal; Tidak boleh
diterima hadits yang diriwayatkan oleh orangh gila.
d.
Tidak fasik; Ialah
melakukan dosa-dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
e.
Menjaga maruah; Nama
baiknya terjaga. Yaitu hendaklah seorang perowi itu bersikap selayaknya sesuai
kedudukannya. Sekiranya beliau seorang ulama, maka ia akan bersikap selayaknya
seorang ulama dan tidak bersikap seperti penjual. [4]
3.
Penjagaan riwayat
Bahwa setiap perowi memiliki hafalan
yang sempurna.[5]
Hafalannya terhindar dari kesalahan atau kesamaran. Semua ini disyaratkan pada
setiap perawi hadits dari awal sanad hingga akhir. Jenis penjagaanya:
a.
Penjagaan di dalam dada
Seorang perowi menghafal apa yang didengarnya dan beliau
dapat menyampaikan apa yang ia dengar sama persis ketika ia mendengarnya.
b.
Penjagaan dalam
penulisan
Seorang perowi menjaga terhadap apa yang ia tulis setelah
membuat pembetulan, memperbaiki tulisan dan membuat pengiktirafan terhadapnya
serta menjaganya dari orang lain yang ingin
mempermainkan atau membuat pemalsuan.
4.
Selamat dari kecacatan
Yaitu haditsnya tidak boleh beda
sendiri. Artinya tidak ada perbedaan antara perawi yang lebih dipercaya atau lebih
diyakini, karena kecacatan ialah terdapat perselisihan antara perawi yang
dipercayai dan perawi yang lebih diyakini yaitu terdapat tambahan atau
kekurangan pada riwayat yang dibawa oleh perowi tersebut. Oleh karena itu, jika
terdapat perbedaan antara dua riwayat maka akan menghalangi keshahihan hadits.
5.
Selamat dari illat
Hadits pada zahirnya adalah
terkumpul mengikuti syarat-syarat
shahih.[6]
Illat adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai kesahihan hadits[7]. Dengan
demikian, hadits harus diteliti sedemikian rupa agar tidak tercampur antara
hadits yang kuat dan yang lemah, antara hadits yang asli dan hadits yang palsu.
6.
Āḍid
Āḍid diperlukan
ketika dibutuhkan. Yang dimaksud dari āḍid adalah
datangnya hadits dari sanad yang lain atau jalur yang lain mengangkat kelemahan
yang terdapat pada sanad pertama, atau mengangkat sebuah hadits dari satu
derajat kepada yang lebih kuat[8]. Namun,
perlu ditekankan bahwa hadits lemah yang dapat naik derajatnya adalah hadits yang
kelemahannya ringan seperti sanadnya terputus dan terdapat perawi yang lemah
dalam hafalannya. Adapun hadits yang sangat lemah disebabkan adanya perawi yang
pendusta dalam sanadnya, maka tidak dapat naik kepada maqbūl.
Hadits yang datang dari jalur lain
bisa jadi berbentuk mutābi’ atau syāhid. Mutābi’ adalah adalah
hadits yang serupa dengan hadits yang lain dari siapa yang boleh diriwayatkan haditsnya
yaitu ia meriwayatkan hadits dari gurunya atau guru-gurunya. Keserupaan dari
dua hadits terdapat pada matan haditsnya atau maknanya disertai hadits tersebut
berasal dari Sahabat yang sama, sedangkah syāhid adalah hadits
yang serupa dengan hadits yang lain secara makna atau lafal, akan tetapi
berasal dari Sahabat yang berbeda [9].
C.
Macam-macam
Hadits Maqbul
Hadits Maqbul terbagi kepada dua macam yang pokok menurut
aspek keterkaitan pada kedudukannya yaitu : Shahih(
صحيح ) dan Hasan ( حسن ). Dan dari dua macam tersebut terbagi
kepada dua macam yaitu Lidzatihi ( لذاته )dan Lighairihi ( لغيره ).
1.
Sahih Liżātihi
Adalah hadits
yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh perawi yang adil ḍābiṭ tām dari
awal sanad hingga akhir sanad, terlepas dari bertentangan dan ‘illah [10]. Ibnu
Shalah menyatakan bahwa lima kriteria di ataslah yang menjadikan sebuah hadits
menjadi sahih. Kadang mereka berselisih dalam menentukan kesahihan sebagian hadits
disebabkan perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya kriteria
tersebut dalam hadits [11].
Misal dari hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam
Sahih Muslim, kitab (11) al-janā’iz, hadits nomor 1 dan 2, teksnya berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِىُّ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ
وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ كِلاَهُمَا عَنْ بِشْرٍ قَالَ أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ - حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ عُمَارَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ »
(Muslim berkata): Abū Kāmil al-Jahdarī Fuḍail ibn al-Ḥusain dan Uṡmān
ibn Abī Syaibah menceritakan kepada kami(mereka berkata), dari Bisyr. Abū Kāmil
berkata: Bisyr ibn al-Mufaḍḍal menceritakan kepada kami (ia berkata)
‘Umārah ibn Gazīyah menceritakan kepada kami (ia berkata), Yaḥya ibn ‘Umārah
menceritakan kepada kami (ia berkata): saya mendengar Abū Sa’īd al-Khudrī
berkata: Rasulullah SAW. bersabda, “talqinkan (bacakan,tuntun) mautākum perkataan: lā
Ilāha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)”.[12]
Setelah diteliti
diketahui bahwa seluruh perawi yang terdapat dalam sanad imam Muslim di atas
bahwa sanadnya bersambung, seluruh perawinya ṡiqah, tidak bertentangan dengan hadits
yang lebih kuat dan tidak ada ‘illahnya. Dengan demikian, hadits
di atas dinilai sahih.
2.
Sahih Lighairihi
Hadits sahih lighairihi adalah
hadits hasan yang diriwayatkan dari jalur yang lain yang sederajat atau lebih. Hadits
ini dinamakan sahih lighairihi, karena kesahihan hadits tersebut
tidak datang dari sanadnya, akan tetapi melalui jalur yang lain [13]. Misalnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmiżī dalam Sunannya, bab
as-siwāk, hadits nomor 22, teksnya berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بنُ سُلَيْمَانَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى
أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسَّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
(At-Tirmiżi berkata): Abū Kuraib menceritakan kepada kami(ia berkata),
Abdah bin Sulaiman menceritakan kepada kami, dari Muḥammad bin Amri, dari Abi
Salamah, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “ kalaulah tidak
memberatkan terhadap umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak
setiap ingin melaksanakan salat) [14].
Ibnu aṣ-Ṣalāh mengatakan Muhammad bin Amru adalah seorang perawi yang
dikenal kejujurannya, akan tetapi ia dinilai tidak termsuk seorang yang teliti
dalam hadits. Oleh sebab itu, sebagian melemahkannya dan sebagian lain
menguatkannya. Dengan itu hadits ini adalah hasan. Hadits ini
diriwayatkan dari jalur lain sehingga bisa mengangkat derajatnya kepada sahih [15].
Inilah yang dimakusd dengan hadits sahih lighairihi.
Adapun hadits di atas dari jalur lain diriwayatkan oleh imam Abu Dawud
dalam Sunanya, kitab aṭ-Ṭahārah, bab as-siwāk, hadits nomor 47 [16], teksnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
التَّيْمِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ
خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَقُولُ « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ
كُلِّ صَلاَةٍ »
(Abu Dawud berkata Ibrāhīm bin Mūsā menceritakan kepada kami(ia
berkata), ‘Isā bin Yunus mengabarkan kepada kami(ia berkata), Muhammad bin
Ishāq, dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimī, dari Abu Salamah bin Abd ar-Raḥmān,
dari Zaid bin Khālid al-Juhani berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“kalaulah tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku perintahkan mereka
untuk bersiwak setiap ingin melaksanakan salat.
Hadits
ini dinilai para ulama sahih, di antara mereka adalah imam Albani. Dengan ini hadits
yang diriwayatkan oleh at-Tarmiżi naik ke derajat sahih dengan diperkuat hadits
yang diriwayatkan Abū Dawud.
3.
Hasan Liżātihi
Hadits hasan liżātihi adalah
hadits yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh para perawi yang siqah, akan
tetapi salah satu atau lebih dari perawi keḍabiṭannya ringan tanpa ada syużūż
dan ‘illah [17].
Perbedaan antara hadits sahih dan hasan terletak pada keḍabiṭan perawinya,
inilah yang membuat hadits hasan di bawah derajat hadits sahih.
Contoh hadits
hasan liżātihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam
at-Tirmizi dalam Sunannya, bab anna al-jannah taḥta ẓilāl as-suyūf,hadits
nomor 19 [18], teksnya
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ
الضُّبَعِيُّ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي
مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، قَال: سَمِعْتُ أَبِي، بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُولُ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ
تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ»
(at-Tirmiżī berkata): Qutaibah
menceritakan kepada kami(ia berkata), Ja’far bin Sulaiman aḍ-Ḍiuba’ī
menceritakan kepada kami, dari Abi Imrān, dari Abī Bakr bin Abī Mūsā
al-Asy’arī, ia berkata: aku mendengar ayahku berkata di hadapan musuh: Rasulullah
SAW bersabda, “ sesungguhnya pintu-pintu surga ada di bawah naungan pedang”.
Hadits
ini adalah hasan, karena seluruh perawi adalah ṡiqah kecuali Ja’far bin
Sulaimān. Ja’far dikenal sebagai perawi ṣadūq pada kalangan
ahli Hadits. Dengan itu hadits di atas turun dari sahih kepada hasan.
4.
Hasan Lighairihi
Hadits hasan ligairihi adalah
hadits daif yang
ringan apabila diriwayatkan dari jalur lain sederajat atau lebih [19].
Dari pengertian di atas, dipahami bahwa hadits daif terbagi kepada daif berat
dan daif ringan. Daif berat misalnya seorang perawi dikenal sebagai pendusta
atau hadits yang bertentangan dengan hadits yang lebih kuat. Adapun daif ringan
seperti dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah dalam hapalannya atau
telah pikun. Apabila ada riwayat lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut
dapat diterima. Ibnu Hajar mengatakan banyaknya jalur sebuah riwayat dengan
perbedaan sumbernya menambah kuatnya matan hadits[20].
Contoh dari hadits hasan ligairih adalah hadits
riwayat imam at-Tirmiżī dalam Sunannya, kitab al-janāiz,
bab anna al-mu’min yamūtu bi ‘arq al-jabīn, hadits nomor 982 [21],
teksnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ، عَنْ المُثَنَّى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «المُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الجَبِينِ»
(at-Tirmiżī berkata): Muhammad
bin Basysyār menceritakan kepada kami(ia berkata), Yaḥyā bin Sa’īd menceritakan
kepada kami, dari al-Muṡannā bin Sa’īd, dari Qatadah, dari Abillah bin
Buraidah, dari ayahnya dari nabi SAW, ia bersabda, “ seorang mukmin mati dengan
berkeringat di dahinya).
Imam
at-Tirmizi mengatakan bahwa sanad hadits ini terputus antara Qatadah dan
Abdullah. Dengan demikian, hadits ini adalah daif. Akan tetapi hadits ini
diriwayatkan juga dari jalur lain sehingga kedaifannya dapat naik kepada
hasan ligairih. Imam an-Nasā’ī meriwayatkan dalam Sunannya,
kitab al-janāiz, bab ‘alāmah maut al-mu’min, hadits
nomor 1955, teksnya :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ
يَعْقُوبَ، قَالَ: حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ، عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
«الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ»
(An-Nasā’ī berkata):Muhammad bin Ma’mar mengabarkan kepada kami(ia
berkata), Yusūf bin Ya’qūb menceritakan kepada kami(ia berkata), Kahmas
menceritakan kepada kami, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya ia berkata: aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ seorang mukmin mati dahinya berkeringat).
BAB III
KESIMPULAN
Hadits yang dapat diterima sebagai hujjah disebut dengan hadits maqbul,
dengan klasifikasinya terbagi menjadi hadits shohih dan hadits hasan. Sebuah hadits dapat diterima sebagai dalil apabila ia sampai kepada
derajat maqbūl. Hadits maqbūl adalah hadits
yang kemungkinanya bersumber dari Rasulullah SAW. lebih kuat bila dibandingkan
dengan ketidak mungkinannya. Untuk membuktikan sebuah hadits apakah maqbūl atau
tidak, para ulama memberikan kriteria yang harus dipenuhi. Jika kriteria itu
tidak lengkap, maka hadits itu tidak dapat diterima.
Hadits maqbūl memiliki pembagian sesuai
dengan tingkatannya kepada sahih liżatih, sahih ligairih, hasan liżātih dan
hasan ligairih. Ketika sebuah hadits memenuhi seluruh kriteria di
atas maka ia menjadi sahih. Namun, apabila kapasitas hafalan salah seorang
perawi ringan maka berubah menjadi hasan. Jika memiliki jalur lain, maka ia
bisa naik kepada sahih ligairih. Hadits daif membutuhkan jalur lain
yang menguatkannya yang disebut dengan mutābi dan syāhid.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Arabiah
Mujamma’ al-Lugah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, cet. 4. Mesir: Maktabah
asy-Syurūq ad-Dauliah, 2004.
Asqalānī, Ibnu Ḥajar, Nuzhah
an-Naẓr, cet.3. Madinah: al-maktabah al-‘Ilmiah, 1975
Dawud, Abū, Sunan
Abī Dawud. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul hadits. Bandung: PT ALMA’ARIF, 1972
Hāsyim, Aḥmad Umar, Qawā’id
Uṣūl al-Ḥadīṡ. Kairo: al-Ma’had al-Ali li ad-Dirāsāt al-Ulyā, 2009
Al-Ḥajjāj, Muslim ibn, Ṣaḥīḥ
Muslim. Rīyāḍ: Bait al-Afkār ad-Dauliyah, 1998.
Al-Khusyu’ī al-Khusyu’ī Muḥammad, al-Wajīz
fi ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Kairo: Jāmi’ah al-Azhar, 2008.
Aṭ-Ṭaḥḥān Maḥmūd, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ,
cet.7. t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H.
At-Tirmiżī, Abu ‘Isā, Sunan at-Tirmiżī. Beirut: Dār Iḥyā’
at-Turāṡ al-‘Arabī, t.t
Al-Quḍāh, Syaraf, al-Minhaj al-Ḥadīṡ.Ordon: t.p, t.t
[1] Mujamma’ al-Lugah al-‘Arabiah, al-Mu’jam
al-Wasīṭ, cet. 4 (Mesir: Maktabah asy-Syurūq ad-Dauliah, 2004), h. 742
[2] Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ,
cet.7 (t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H), h. 30
[3] Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Muṣṭalaḥ
al-Ḥadīṡ, cet.7 (t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H), h. 34
[5] Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr
Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ, cet.7 (t.t.p: Markaz al-Hudā Li ad-Dirāsāt, 1405H), h.
34
[8] Khusyu’ī, al-Wajīz, h.
98
[9] Ahmad Umar
Hāsyim, Qawā’id Uṣūl al-Ḥadīṡ, (Kairo: al-Ma’had al-Ali li ad-Dirāsāt
al-Ulyā, 2009), h. 174
[10] Khusyu’ī, al-Wajīz, h. 100
[12] Muslim ibn Al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Rīyāḍ: Bait al-Afkār ad-Dauliyah,
1998), h. 356
[14] Abu ‘Isā at-Tirmiżī, Sunan at-Tirmiżī (Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāṡ al-‘Arabī,
t.t, jilid. I, h. 34
[17] Syaraf al-Quḍāh, al-Minhaj al-Ḥadīṡ(Ordon:
t.p, t.t), h. 186
Komentar
Posting Komentar