HADITS TENTANG KEUTAMAAN
MENUNTUT ILMU
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hadits dan Pembelajarannya
![]() |
DOSEN
: MUKAROM,M.AG.
Disusun oleh :
Agan Asyifa
Hilda Lestari
KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S
KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menuntut ilmu merupakan
kewajiban bagi seluruh umat manusia. Perkembangan yang terjadi dalam era
sekarang ini merupakan hasil dari perkembangan ilmu yang dimiliki manusia.
Seandainya tidak ada ilmu pengetahuan maka umat manusia akan hidup dalam kebingungan. Islam
mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya
menuntut ilmu. Dengan ilmu, manusia dapat menjadi hamba Allah yang senantiasa beriman dan bertaqwa, dengan ilmu manusia
mampu membedakan antara kebajikan dan kebatilan, dengan ilmu pula manusia
mampu mengolah kekayaan alam yang telah Allah berikan. Sehingga manusia mampu menjadi hamba-Nya yang selalu bersyukur.
Al-Quran
dan As-sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu, Manusia yang berilmu memiliki kedudukan yang mulia tidak hanya disisi
manusia, tetapi juga disisi Allah. Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam firman
Allah dalam Q.S. Al-Mujadilah : 11, yang artinya “Allah akan meninggikan
orang – orang yang beriman diantara kamu dan orang – orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat”. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa menuntut
ilmu itu sangat penting bagi kehidupan dunia maupun akhirat.
Dalam makalah ini, kami
akan memaparkan berbagai macam dalil-dalil dalam Al-Quran dan As-sunnah yang
berkaitan dengan kewajiban menuntut ilmu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teks hadits mengenai perintah menuntut ilmu?
2. Bagaimana teks hadits mengenai keutamaan belajar?
3. Bagaimana teks hadits mengenai keutamaan mengajar?
4. Bagaimana teks hadist tentang ancaman bagi yang menyembunyikan ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hadits-Hadits
Tentang Perintah Menuntut Ilmu
عن ابْنُ
مَسْعُودٍ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« تَعَلَّمُوا
الْعِلْمَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهُ
النَّاسَ ، تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، فَإِنِّى امْرُؤٌ
مَقْبُوضٌ ، وَالْعِلْمُ سَيُنْتَقَصُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ
اثْنَانِ فِى فَرِيضَةٍ لاَ يَجِدَانِ أَحَداً يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا [1]رواه الدارمى
والدارقطنى
a. Terjemahan
Ibnu Mas’ud
meriwayatkan, “Rasulullah SAW. berkata kepadaku ‘Tuntutlah ilmu pengetahuan dan
ajarkanlah kepada orang lain. Tuntutlah ilmu kewarisan dan ajarkanlah kepada
orang lain. Pelajarilah Al-Quran dan
ajarkanlah kepada orang lain. Saya ini akan mati. Ilmu akan berkurang dan
cobaan akan semakin banyak, sehingga terjadi perbedaan pendapat antara dua
orang tentang suatu kewajiban, mereka tidak menemukan seorang pun yang
dapat menyelesaikannya.’
b. Penjelasan hadits dan ayat
pendukung
Dalam hadits ini, ada tiga
perintah belajar, yaitu perintah mempelajari ‘al-‘ilm’, ‘al-faraid’
dan ‘Al-Quran’. Menurut Ibnu Mas’ud, ilmu yang dimaksud di sini adalah
ilmu syariat dan segala jenisnya. Al-Fara’id adalah ketentuan-ketentuan
baik ketentuan Islam secara umum maupun ketentuan tentang harta warisan.
Mempelajari Al-Quran mencakup menghafalnya. Setelah dipelajari ajarkan pula kepada orang lain supaya lebih
sempurna. Beliau memerintahkan agar sahabat mempelajari ilmu karena beliau
sendiri adalah manusia seperti manusia pada umumnya. Pada suatu saat, beliau
akan wafat. Dengan adanya orang mempelajari ilmu, ilmu pengetahuan itu tidak akan hilang.
Mengingat pentingnya ilmu
pengetahuan dalam hadits di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa ilmu harus diajarkan kepada
orang lain. Rasulullah SAW mengkhawatirkan bila beliau telah wafat dan
orang-orang tidak peduli dengan ilmu pengetahuan, tidak ada lagi orang yang
mengerti dengan agama sehingga orang akan kebingungan.
Selain perintah menuntut
ilmu pengetahuan dalam hadits di atas, ada lagi hadits yang menegaskan tentang kewajiban menuntut ilmu pengetahuan.
عن حسين بن علي
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ »[2] رواه والبيهقى الطبرانى وأبو يعلى
والقضاعى و أبو نعين الأصبهاني
Husain bin Ali meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda: “Menuntut ilmu pengetahuan wajib bagi setiap orang Islam”.
Hadits tersebut menjelaskan maksud dimana kewajiban menuntut ilmu itu
ditujukan atas setiap mukmin, baik mukmin laki-laki maupun perempuan. Hal
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat pentingnya kehidupan di bumi
harus disertai ilmu, baik ilmu politik, sosial, budaya dan yang paling penting
ilmu keagamaan dimana ilmu agama kelak akan menghantarkan umat muslim ke surga
dan ilmu agamalah yang menjadi simbolis pembeda antara manusia dan makhluk yang
lainnya.
Allah menggunakan ungkapan
yang bervariasi dalam memerintahkan manusia mencari ilmu pengetahuan. Seperti dalam QS Al-'Alaq/96: 1-5.
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ، خَلَقَ الاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ [العلق\96:
1-5]
Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Dalam surah ini Allah memerintahkan manusia untuk membaca. Membaca akan menghasilkan
ilmu pengetahuan.
Dalam QS Al-Ghasiyyah/88: 17-20.
اَفَلاَ
يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ , وَاِلَى السَّمَآءِ كَيْفَ
رُفِعَتْ , وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ , وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ صُطِحَتْ .
Maka tidaklah mereka memperhatikan unta, bagaimana
diciptakan?, Dan langit bagaimana ditinggikan?, Dan gunung-gunung bagaimana
ditegakkan?, Dan bumi bagaimana dihamparkan?.
Dalam surah ini Allah memerintahkan manusia agar mengamati fenomena alam
semesta. Pengamatan ini akan melahirkan ilmu pengetahuan pula.
Dalam QS Al-Mujadilah/58: 11.
يَآيُّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوْآ اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجَالِسِ فَا
فْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَا نْشُزُوْا
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ
دَرَجتِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu “Berilah
kelapangan di dalam majelis-majelis,” Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka
berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman
diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Dalam surah ini Allah menggunakan motivasi dengan ungkapan mengangkat derajat orang yang
berilmu. Motivasi ini akan mendorong manusia untuk belajar.
Perintah menuntut ilmu
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sejalan dengan perintah Allah dalam Al-Quran.
Dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat yang mengandung perintah menuntut ilmu pengetahuan dan petunjuk-petunjuk tentang urgensi
ilmu pengetahuan itu.
Pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia tidak diragukan lagi.
Dalam melaksanakan pekerjaan dari hal kecil sampai hal besar, manusia membutuhkan
ilmu pengetahuan. Dalam Al-Quran dapat dilihat bahwa setelah Allah menyatakan
Adam sebagai Khalifah di muka bumi, maka
ia dipersiapkan dengan ilmu pengetahuan. Hal itu dimaksudkan agar Adam mampu
mengemban tugasnya sebagai Khalifah. Seperti yang telah disebutkan dalam firman Allah :
وَعَلَّمَ
آَدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ، قَالُوا
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
الْحَكِيمُ، قَالَ يَا آَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ. (البقرة\2:
31-33).
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda
itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Allah SWT menyebut bahasa
dengan ungkapan ‘seluruh nama’, maksudnya Dia mengajari Adam nama-nama yang
melambangkan konsep-konsep.
Belajar “nama” yang
melambangkan konsep tertentu mencakup pengenalan sifat-sifat dan karakteristik
yang mengikutsertakan semua satuan jenis yang tercakup oleh konsep tersebut.
Oleh karena itu, kita juga dapat memahami dan firman Allah SWT., “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama” bahwa Allah SWT. juga telah
mengajari Adam a.s. sifat-sifat, karakteristik, dan perbuatannya.[3]
Selain di atas terdapat
pula ayat lain yang juga mengandung perintah mencari ilmu
pengetahuan, yaitu:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ. (التوبة\9: 122)
Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
Menurut Al-Marâghi, ayat tersebut merupakan
isyarat tentang wajibnya melakukan pendalaman agama dan bersedia mengajarkan ilmu
di berbagai tempat
serta memberikan pemahaman kepada orang lain tentang agama. Sehingga, mereka dapat memahami hukum-hukum agama secara umum yang wajib
diketahui oleh setiap mukmin. Mereka mendapat kedudukan
yang tinggi di sisi Allah, bahkan lebih tinggi
derajatnya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa
dalam mengagungkan kalimat Allah, membela
agama dan ajaran-Nya. Sehingga mempertahankan agama
menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.[4]
Untuk lebih tegas dalam hadits
riwayat Husain ibn Ali di atas, Rasulullah SAW. menggunakan kata-kata wajib,
harus (farîdhah). Hal itu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan itu memang
benar-benar urgen dalam kehidupan manusia terutama bagi orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang
mukmin tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik sesuai dengan syariat Islam.
2. Hadits Tentang
Keutamaan Belajar
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ رواه مسلم
والترمذى وأحمد والبيهقى [5]
a.
Terjemahan
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda: “Siapa yang menempuh jalan menuntut ilmu, akan dimudahkan Allah jalan
untuknya ke surga.
b.
Penjelasan Hadits Dan Ayat Pendukung
Menurut Ibn Hajar, kata طَرِيْقًا diungkapkan dalam bentuk nakirah (indefinit),
begitu juga dengan kata ilmu yang berarti mencakup semua jalan atau cara
untuk mendapatkan ilmu agama, baik sedikit maupun banyak.
Jadi apabila dikaitkan dengan ayat yang pertama
turun yaitu surat al’alaq, “اقْرَأْ “artinya
baca, jadi untuk mendapatkan ilmu itu harus dengan banyak membaca. Contohnya
allah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, seluruhnya
mengandung ilmu pengetahuan.
سَهَّلَ اللَّهُ
لَهُ طَرِيقًا (Allah memudahkan baginya jalan) Yaitu Allah
memudahkan baginya jalan di akhirat kelak, atau memudahkan baginya jalan di
dunia dengan cara memberi hidayah kepadanya untuk melakukan perbuatan yang baik
yang dapat menghantarkannya menuju surga. Hal ini mengandung berita gembira
bagi orang yang menuntut ilmu, bahwa Allah memudahkan mereka untuk mencari dan
mendapatkannya, karena menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju surga.[6]
Dalam hadits ini,
Rasulullah SAW menggunakan pendekatan
fungsional. Beliau memberikan motivasi belajar kepada para sahabat (umat)nya
dengan mengemukakan manfaat, keuntungan dan kemudahan yang akan diperoleh oleh
setiap orang yang berusaha mengikuti proses belajar. Kendatipun beliau tidak
menggunakan kata perintah (fi'l al-amr), namun ungkapan ini dapat
dipahami sebagai perintah. Bahkan motivasi dengan ungkapan seperti ini lebih
efektif daripada perintah.
Anjuran yang terdapat
dalam hadits ini sejalan dengan pernyataan Allah dalam Al-Quran. Firman Allah
(QS Fathir/35: 28) yang artinya: Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
Al-Marâghi menjelaskan
bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya dan mematuhi
hukuman-Nya hanyalah orang-orang yang mengetahui tentang kebesaran dan
kekuasaan Allah atas hal-hal apa saja yang Dia kehendaki, dan bahwa Dia
melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Karena orang yang mengetahui hal itu,
dia yakin tentang hukuman Allah atas siapa pun yang bermaksiat kepada-Nya. Maka
dia merasa takut kepada Allah karena khawatir mendapat siksa-Nya tersebut.
Sehubungan dengan ayat di
atas, Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ عَائِشَةُ
قَالَتْ: صَنَعَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - شَيْئًا فَرَخَّصَ فِيهِ
فَتَنَزَّهَ عَنْهُ قَوْمٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم -
فَخَطَبَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ قَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُونَ عَنِ
الشَّىْءِ أَصْنَعُهُ ، فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُهُمْ بِاللَّهِ وَأَشَدُّهُمْ
لَهُ خَشْيَةً[7]
رواه البخارى
“Rasulullah SAW. melakukan sesuatu lalu beliau
memberi rukhsah (keringanan) mengenai sesuatu itu. Namun ada suatu kaum
yang menghindarinya. Ketika hal itu didengar
oleh Nabi SAW. Lalu beliau pun berkhutbah. Beliau memuji Allah lalu bersabda,
‘Kenapakah ada kaum yang menghindari sesuatu yang aku perbuat. Demi Allah
sesungguhnya aku adalah yang paling tahu tentang Allah dan paling takut
kepada-Nya di antara mereka.” (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).
Ada dasar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basri. Menurut Ibn
Abbas, “Orang yang berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di antara
hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun,
menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya, memelihara wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu
dengan-Nya dan memperhitungkan amalnya.” Hasan Al-Basri berkata, “Orang
yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun
dia tidak mengetahui-Nya, menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari
apa yang dimurkai Allah.
Dari hadits
di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa ilmu pengetahuan itu
memudahkan orang menuju surga. Hal itu mudah dipahami karena dengan ilmu,
seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan
bentuk-bentuk akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula
hal-hal yang dapat merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala
ibadah, dan memahami pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu
dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di akhirat, bahkan kebahagiaan di dunia .
Selain hadits di atas, terdapat pula hadits
semakna yaitu:
عن أبى دردائ
قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ
الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ
فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ
وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ
دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ. رواه الترمذى وأحمد والبيهقى وأبو داود والدارمى [8]
Abu Dada’ berkata, saya mendengar Rasulullah
SAW. bersabda: “Siapa yang menempuh jalan mencari ilmu, akan
dimudahkan Allah jalan untuknya ke surga. Seungguhnya Malaikat menghamparkan
sayapnya karena senang kepada pencari ilmu. Sesungguhnya pencari ilmu
dimintakan ampun oleh orang yang ada di langit dan bumi, bahkan ikan yang ada
dalam air. Keutamaan orang berilmu
dari orang yang beribadah adalah bagaikan kelebihan bulan malam purnama dari
semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Nabi tidak mewariskan
emas dan perak, tetapi ilmu. Siapa yang mencari ilmu hendaklah ia cari
sebanyak-banyaknya.
Dalam hadits di atas
terdapat lima keutamaan orang menuntut ilmu, yaitu: (1) mendapat kemudahan
untuk menuju surga, (2) disenangi oleh para malaikat, (3) dimohonkan ampun oleh
makhluk Allah yang lain, (4) lebih utama daripada ahli ibadah, dan (5) menjadi
pewaris Nabi. Menuntut ilmu yang dimaksud di sini, menurut pengarang Tuhfat
al-Ahwazi adalah mencari ilmu sedikit atau banyak yang menempuh jalan dekat
atau jauh.
Yang dimaksud dengan
dimudahkan Allah baginya jalan menuju surga adalah ilmunya itu akan memberikan
kemudahan kepadanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menyebabkannya masuk surga. Karena ilmunya, seseorang itu mengetahui kewajiban
yang harus dikerjakannya dan larangan-larangan yang harus dijauhinya. Ia
memahami hal-hal yang dapat merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu yang dimilikinya
membuat ia dapat membedakan yang halal dari yang haram. Dengan demikian,
orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk
mengerjakan hal-hal yang dapat membawanya ke dalam surga.
Malaikat menghamparkan
sayapnya karena senang kepada orang yang mencari ilmu. Malaikat telah
mengetahui bahwa Allah sangat mengutamakan ilmu. Hal itu terbukti ketika mereka
diperintahkan Allah untuk bersujud kepada Adam setelah Adam
menunjukkan segala pengetahuannya kepada malaikat.
Orang yang menuntut ilmu
dimintakan ampun oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. Ini merupakan ungkapan
yang menunjukkan kesenangan Rasulullah SAW kepada para
pencari ilmu. Ilmu itu sangat bermanfaat bagi alam semesta. Dengan ilmu
pengetahuan yang disertai iman, alam ini akan selalu terjaga dengan indah.
Penjagaan dan pengelolaan alam ini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan.
Orang berilmu pengetahuan
lebih utama daripada ahli ibadah. Keutamaannya diumpamakan oleh Rasulullah SAW
bagaikan kelebihan bulan pada malam purnama dari bintang. Keutamaan bulan
purnama yang jelas dari bintang-bintang adalah dalam hal fungsi menerangi.
Bulan itu bercahaya yang membuat dirinya terang dan dapat pula menerangi yang
lain. Sedangkan bintang hanyalah menyinari dirinya sendiri. Sifat
seperti itu terdapat pula pada orang yang berilmu pengetahuan dan ahli ibadah.
Orang yang berilmu pengetahuan dapat menerangi dirinya sendiri dengan petunjuk
dan dapat pula menerangi orang lain dengan pengajarannya. Dengan kata lain,
orang 'alim itu memberikan manfaat untuk dirinya dan dapat pula
bermanfaat bagi orang lain.
Orang yang berilmu
dikatakan sebagai pewaris Nabi. Ini merupakan penghormatan yang sangat tinggi.
Warisan Nabi itu bukan harta dan fasilitas duniawi, melainkan ilmu. Mencari
ilmu berarti berusaha untuk mendapatkan warisan beliau. Siapa saja yang
berminat dapat mewarisinya. Bahkan, Rasulullah SAW. menganjurkan agar umatnya
mewarisi ilmu itu sebanyak-banyaknya.
Dari hadits di atas
terlihat bahwa Rasulullah SAW mendidik umatnya untuk menjadi 'alîm, (jamaknya
'ulamâ') dengan pendekatan fungsional. Pendekatan ini merupakan upaya
memberikan materi pembelajaran dengan menekankan kepada segi kemanfaatan bagi
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dan bimbingan untuk
mendapatkan ilmu diharapkan berguna bagi kehidupan seseorang, baik dalam
kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Melalui pendekatan fungsional
ini berarti peserta didik dapat memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
3. Hadits Tentang Keutamaan
Mengajar
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
مَاتَ الاِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم
وأحمد النسائي والترمذى والبيهقى [9]
a. Terjemahan
Abu Hurairah meriwatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Apabila manusia telah meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali
tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang
mendoakannya.
b. Penjelasan hadits dan ayat
pendukung
Dalam hadits di atas terdapat
informasi bahwa ada tiga hal yang selalu diberi pahala oleh Allah pada
seseorang kendatipun ia sudah meninggal dunia. Yaitu; (1) sedekah jariyah
(wakaf yang lama kegunaannya), (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) doa yang
dimohonkan oleh anak yang saleh untuk orang tuanya. Sehubungan dengan
pembahasan ini adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh
seseorang ('âlim) kepada orang lain dan tulisan (karangan) yang
dimaksudkan oleh penulis untuk dimanfaatkan orang lain.
Dari ulasan di atas
terlihat ada dua bentuk pemanfaatan ilmu, yaitu dalam mengajar dan menulis.
Mengajar adalah proses memberikan ilmu pengetahuan kepada orang yang belum
tahu. Hasilnya, orang yang belajar itu memiliki ilmu pengetahuan dan dapat
dimanfaatkannya dalam menjalani kehidupannya, baik untuk urusan hidup duniawi
maupun untuk urusan ukhrawi. Demikian juga halnya dengan menulis. Orang yang
berilmu pengetahuan dapat menularkan ilmunya dengan menulis buku dan
sebagainya. Orang yang membaca karangan tersebut akan mendapatkan ilmunya
kendatipun tidak pernah bertemu langsung. Kedua pekerjaan ini hanya dapat
dilakukan bila seseorang mempunyai ilmu pengetahuan dan mau menyebarkan ilmunya kepada orang lain.
5. Hadis Tentang Ancaman Untuk yang
Menyembunyikan Ilmu
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ
فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». رواه أبو داود وأحمد[10]
a. Terjemahan
Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya
tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawabnya), Allah akan
mengekangnya dengan kekangan api neraka pada hari kiamat nanti.
b. Penjelasan hadis dan ayat pendukung
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ
عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ ».
رواه الترمذى
Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ditanya
tentang suatu ilmu yang ia ketahui, lalu ia menyembunyikannya (tidak
menjawabnya), ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekangan api neraka.
Menurut pengarang 'Aun al-Ma'bud dan Tuhfat
al-Ahwazi, Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu yang dibutuhkan oleh
penanya dalam masalah agamanya, lalu ia sembunyikan dengan cara tidak menjawab
atau tidak menulis, maka Allah akan memasukkan kekangan api neraka ke dalam
mulutnya karena ia telah menahan dirinya untuk berbicara. Menurut
Al-Khaththabiy, orang yang menahan diri dari berbicara disamakan dengan
mengekang dirinya. Apabila ia mengekang lidahnya dari berbicara tentang
kebenaran, menginformasikan ilmu dan menjelaskannya diazab di akhirat dengan
kekangan api neraka. Hal ini berlaku pada ilmu yang jelas baginya kefarduannya.
Misalnya: seseorang yang melihat/mengetahui seorang kafir yang mau masuk Islam
dan berkata: ajarilah aku tentang Islam, apakah agama Islam itu? Bagaimana aku
mengerjakan salat? Begitu juga masalah halal dan haram.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dari
segi urgensinya, ilmu itu terbagi kepada yang dharuri dan tidak
dharuri. Ilmu yang termasuk kategori dharuri ini sama sekali tidak
boleh disembunyikan. Artinya bila orang yang memiliki ilmu tersebut ditanya oleh
orang yang membutuhkannya, ia wajib menjawab baik lisan atau tulisan. Akan
tetapi bila ilmu kategori kedua (tidak dharuri), seperti ilmu tentang
teknologi, ekonomi dan sebagainya, maka orang yang ditanya itu tidak wajib
menjawabnya.
Orang yang menyembunyikan
ilmu terutama ilmu syari'at seperti yang dikemukakan di atas diancam oleh Allah
dengan laknat-Nya dan laknat mahluk-Nya sebagaimana ditegaskan dalam ayat
berikut:
إِنَّ الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا
بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ
وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ (البقرة\2: 159)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah
dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râziy, ketentuan ayat
ini berlaku bagi semua yang menyembunyikan agama kendatipun ia turun dalam
kasus orang Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan isi Taurat ketika ditanya
oleh orang-orang Anshar tentang sifat-sifat Nabi.[11]
Mereka tidak mau menjawab dan menjelaskan sifat Nabi yang sudah dijelaskan oleh
Allah dalam kitab Taurat.
M. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa ayat ini, walaupun turun dalam konteks kecaman terhadap
orang-orang Yahudi, namun redaksinya yang bersifat umum menjadikannya kecaman
terhadap setiap orang yang menyembunyikan apapun yang diperintahkan agama untuk
disampaikan, baik ajaran agama maupun ilmu pengetahuan atau hak manusia.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Menuntut
ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim. Dengan ilmu kita dapat
mengetahui perbuatan yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang mukmin tidak dapat melaksanakan
aktivitasnya dengan baik sesuai dengan syariat Islam. Orang yang berilmu
dikatakan sebagai pewaris Nabi. Ini merupakan penghormatan yang sangat tinggi.
Allah pun memberi kabar
gembira bagi orang yang menuntut ilmu, bahwa Allah akan memudahkan mereka untuk
mencari dan mendapatkannya, karena menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju
surga.
Dalam
sebuah hadits telah dikatakan bahwa seseorang akan meninggal dan terputuslah
amalannya kecuali tiga perkara, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Maka
wajiblah bagi orang berilmu mengajarkan apa yang ia ketahui dan mengamalkannya.
Karena telah kita ketahui bahwa siapa saja yang menyembunyikan apa yang ia
ketahui niscaya ia akan mendapat laknat dari Allah SWT.
Dengan
demikian, sebagai umat muslim sudah seharusnya kita berusaha keras untuk
menuntut ilmu serta mengamalkannya sehingga ilmu yang kita dapat menjadi
bermanfaat bagi kita dan orang-orang sekitar kita. Karena dalam sebuah hadist
dikatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang
sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alghazali imam ihya ulumuddin. Bimbingan untuk mencapai tingkat
mukmin. Bandung:c.v. diponegoro
Al-Darimiy, Sunan ad-Darimi, jilid 1, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.), h. 252. Hadis dengan
maksud yang sama juga diriwayatkan Ad-Daruqutni dari Abi Sa’id.
Sunan Al-Daruquthni, juz 9, (Beirut: Dar al-Makrifah, 1966)
Sya’b al-Iman, Juz 2, Beirut: Dar –Kutub al-‘Ilmiyah
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy,
(selanjutnya disebut Al-Marâghi), Tafsir al-Maraghiy, Jilid 4, Juz 11,
t.tp.: Dar al-Fikr
Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr
al-Qur'ân al-Hakîm al-Syahîr bi Tafsîr al-Manâr, Jilid 11,Beirut: Dar
al-Ma'rifah
Sunan al-Tirmiziy wa Huwa al-Jâmi’
al-Shahîh, Juz 1,
Indonesia: Dahlan , t.th.
Shahīh al-Bukhāriy, I, Indonesia: Dahlan
Sunan Abi Daud, juz 3, Indonesia, Dahlan
Shahih Muslim, Juz 3,
Indonesia: Dahlan
Juz 6, h. 449 dalam Al-Maktabah
al-Syamilah..
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Quran, Volume 1, Cet. ke-1, Jakarta: Lentera Hati, 2000
[2] Al-Darimiy, Sunan ad-Darimi, jilid
1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 252. Hadis dengan maksud yang sama juga diriwayatkan Ad-Daruqutni dari Abi
Sa’id.
[5] Ahmad Musthafa
Al-Maraghiy, (selanjutnya disebut Al-Marâghi), Tafsir al-Maraghiy, Jilid
4, Juz 11, t.tp.: Dar al-Fikr
[6] Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr
al-Qur'ân al-Hakîm al-Syahîr bi Tafsîr al-Manâr, Jilid 11,Beirut: Dar
al-Ma'rifah
[12] M.
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 1, Cet. ke-1,
Jakarta: Lentara Hati,
2000

Komentar
Posting Komentar