Langsung ke konten utama

Bab Thaharah

THAHARAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih dan Pembelajarannya

 










DOSEN : MUKAROM,M.AG.
Disusun oleh :
Salma Intan Mayastika
Hilda Lestari





KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S
KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153
2016
BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Islam telah mengatur segala hal-hal yang berkaitan menjaga kesucian lahiriah maupun batiniah. Dalam Islam, istilah menyucikan lahiriah ini dikenal dengan istilah thaharah. Thaharah adalah kegiatan bersuci yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam, saat melakukan hal-hal tertentu. Seperti halnya melaksanakan shalat dan tawaf.
Thaharah merupakan pembahasan yang sangat penting untuk dikaji. Karena thaharah merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, saat akan melakukan hal-hal tertentu.
Apabila diri seorang muslim telah dibersihkan secara lahiriah dan batiniah niscaya ruhnya menjadi bening, jiwa menjadi baik, dan dia telah siap untuk bermunajat dengan Rabbnya dalam kondisi yang paling sempurna: badan suci, hati bersih, pakaian suci, berada di tempat yang suci. Inilah adab yang utama serta pengagungan puncak terhadap Rabb semesta alam dengan melaksanakan ibadah terhadap-Nya.Oleh karena itulah, dalam makalah ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal  tersebut.
B.  Tujuan
1)     Mengetahui arti thaharah dan alat-alat untuk bersuci.
2)     Mengetahui syarat wajib bersuci.
3)     Mengetahui arti najis, pembagiannya, bentuk-bentuknya dan cara membersihkannya.
4)     Mengetahui arti hadas, macam-macam hadas, sebab-sebab seseorang berhadas, hal-hal yang dilarang saat berhadas dan cara bersuci darinya.












BAB II
Pembahasan

1.     THAHARAH
a.     Pengertian Thaharah
Kata thaharah berasal dari bahasa Arab اَلطَهَارُ  yang secara bahasa artinya  kebersihan atau bersuci. Thaharah ialah suatu kegiatan bersuci atau membersihkan diri dari hadas maupun najis zahir dan batin. Sehingga seorang diperbolehkan mengerjakan suatu ibadah dalam keadaan suci.
Bersuci secara zahir yaitu dengan cara berwudhu’, mandi dengan air dan membersihkan pakaian, badan dan tempat dari segala najis.
Bersuci untuk batin yaitu dengan cara membersihkan hati dari sifat-sifat yang jelek serta  mengisi jiwa dengan sifat-sifat yang baik dan sifat ini disempurnakan dengan memperbanyak bertaubat, istigfar dan berzikir kepada Allah.[1]
Adapun dalil-dalil yang membahas mengenai thaharah diantaranya:
اِنَ اللهَ يُحِبُ التَوَابِيْنَ وَيُحِبُ اْلمُتَطَهِرِيْنَ
 “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

وعن ابي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال : قال رَسُوْلُ الله صلّى الله عَلَيْهِ وسلّم :  (( الطُّهُوْرُ شَطْرُ الْاِيْمَانِ , والْحَمْدُ لِلهِ تَمْلأُ الْمِيْزَانَ)) أخرجه مسلم.
Dari Abu Malik Al Ashari berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Bersuci sebagian dari iman dan ucapan Alhamdulillah memenuhi timbangan,…".[2]

b.     Syarat wajib Thaharah
      Setiap mukmin mempunyai syarat wajib untuk melakukan thaharah. Ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat sah-nya berthaharah sebelum melakukan perintah Allah SWT. Syarat wajib tersebut ialah :
1.      Islam
2.      Berakal
3.      Baligh
4.      Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat fardhu ).
5.      Tidak lupa
6.      Tidak dipaksa
7.      Berhenti darah haid dan nifas
8.      Ada air atau debu tanah yang suci.
9.      Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.

c.      Alat-Alat Untuk Bersuci
1.      Air, dasar penggunaan air untuk bersuci  dari najis adalah pernyataan Rasulullah berikut ini:
اَلْمَاءُ لَا يُنَجِسُهُ شَيْءٌ اِلَا مَا غَلِبَ عَلَى طَعْمِهِ اَوْ لَوْنِهِ اَوْرِيْحِهِ
“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika berubah rasanya, warnanya atau baunya.”(HR. Ibn Majjah dan Baihaqi)[3]
Dalam kajian ilmu fikih, dikenal tiga macam air yaitu sebagai berikut.
a.       Air Mutlak
Air mutlak ialah bahwa ia suci dan mensucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya. Contoh airnya adalah seperti air hujan, air salju atau es atau embun, air laut dan begitu juga dengan air zamzam.
1)     Air hujan
Sebagaimana firman Allah:
وَيُنَزِلُ عَلَيْكُمْ مِنَ اْلسَمَاءِ مَاءً لِيُطَهِرُكُمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengannya.” (QS. Al-Anfal:11)
2)     Air laut, sebagaimana Sabda Rasulullah:
هُوَ اْلطَهُوْرُ مَاؤُهُ اْلحِلُ مَيْتَتُهُ
“Laut itu airnya suci, bangkainya pun halal.”( HR.al-Khamsah)
3)     Air zamzam
Hadis yang diriwayatkan oleh Ali r.a:
اَنَ رَسُوْلَ اْللهِ ص. م. دَعَا بِسِجْلللٍ مِنْ مَاءلٍ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ فَنَتَوَضَاءْ
 “Bahwasanya Rasulullah SAW meminta  dimbilkan satu ember zamzam, kemudian beliau minum dan berwudhu dengan air zamzam tersebut.”(HR.Ahmad)
b. Air Musta’mal
      Air musta’mal ini adalah air sisa yang mengenai badan manusia  karena telah digunakan untuk wudhu atau mandi. Air musta’mal disini maksudnya bukanlah air yang sengaja ditampung dari bekas mandi atau wudhu. Tetapi adalah percikan air wudhu atau air mandian yang bercampur dengan air dalam bejana atau bak.
Hukumnya suci lagi menyucikan sebagaimana air mutlak. Hal itu mengingat asalnya yang suci, sedangkan tidak ditemukan satu pun alasan mengeluarkannya dari kesucian.[4]
                  Dari Abu Hurairah r.a,bahwa Nabi SAW berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah, sedangkan waktu itu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi SAW : Kemana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemaninya dalam keadaan tidak suci. Maka bersabda Rasulullah SAW: “Maha Suci Allah, orang  Mukmin itu tidak najis.”(H.R.Jama’ah)
            Menjadikan hadis ini sebagai alasan karena di sana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tidak mungkin najis. Maka tidak ada alasan bahwa air itu telah kehilangan kesuciannya hanya karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci dengan yang suci pula hingga tidak membawa perubahan apapun.[5]
c.       Air Yang Tercampur Dengan Benda Suci Atau Bukan Najis
Air yang bercampur dengan benda suci statusnya akan tetap suci selama kemutlakannya terjaga, yaitu tidak berubah bau, warna, atau rasanya. Misalnya ketika air itu bercampur dengan daun bidara, ai sabun, air kapur dan juga seperti lebah, semut dan lain-lain.
2.      Debu yang suci.Ketika  seseorang ingin bersuci (dalam artian bersuci dari hadas), dan dia tidak menemukan air untuk itu, maka di berikan kemudahan untuk masalah itu. Yaitu dengan bersuci dengan debu, yang disebut dengan istilah bertayammum.
3.     Benda-benda yang dapat menyerap kotoran, seperti batu, tisu, kayu dan semacamnya. Dalam hal ini, dikhususkan untuk menghilangkan najis, seperti untuk beristinja’.


2.    NAJIS
a.     Pengertian Najis
        Najis menurut bahasa adalah apa saja yang kotor. Sedangkan menurut syara’ berarti kotoran yang mengakibatkan shalat tidak sah, seperti darah dan kencing.
b.     Pembagian Najis
   Secara wujud najisnya, najis dibagi kedalam dua macam[6], yaitu najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah.
1.      Najis ‘Ainiyah adalah semua najis yang berwujud atau dapat dilihat melalui mata atau mempunyai sifat yang nyata, seperti warna atau baunya. Contohnya adalah seperti kotoran, kencing dan darah.
2.      Najis Hukmiyah adalah semua najis yang telah kering dan bekasnya sudah tidak ada lagi serta sudah hilang antara warna dan baunya. Contohnya adalah kencing yang mengenai baju yang kemudian kering sedang bekasnya tidak nampak.
     Sedangkan secara timbangan berat ringannya[7], najis dibagi kedalam tiga golongan, yaitu najis mughallazah, mukhaffafah, dan mutawassithah.
1.     Najis Mughallazah adalah adalah najis yang tergolong berat. Najis ini disebut sebagai najis yang berat karena cara menyucikannya tidak semudah najis-najis yang lain. yang termasuk kedalam  najis ini adalah anjing dan babi.
   Adapun cara untuk menyucikan najis ini adalah dengan disamak. Cara penyamakannya adalah dengan membasuh najis tersebut dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu air itu dicampur dengan lumpur, baik najis itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, baik berada pada tubuh, pakaian maupun tempat shalat.
2.      Najis Mukhaffafah adalah najis yang ringan. Kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain susu dan umurnya belum sampai dua tahun.
Adapun cara untuk menyucikan najis ini adalah dengan diperciki air sampai merata, baik najis itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, baik berada pada tubuh, pakaian maupun tempat shalat.
3.     Najis Mutawassithah adalah najis yang sedang atau pertengahan antara kedua najis sebelumnya. Yaitu najis  selain anjing dan babi atau najis selain kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain susu. Yaitu seperti kencing manusia, tahi, binatang dan darah.
Adapun cara untuk menyucikannya adalah dengan megalirinya air sehingga dapat menghilagkan bekasnya dan hilang pula sifat-sifatnya, seperti warna, rasa maupun baunya, baik najis itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, baik berada pada tubuh, pakaian maupun tempat shalat.
c.      Bentuk-Bentuk Najis
  Bersuci dari najis merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang sudah baligh. Anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan perlu dilatih melakukan hal tersebut. Setelah menginjak usia tujuh tahun, ia harus disuruh untuk bersuci. Dan pada usia sepuluh tahun, ia harus dipukul jika menolak perintah tersebut.
Diantara najis yang harus disucikan adalah sebagai berikut[8].
1.     Babi  termasuk didalamnya daging, tulang, rambut dan kulitnya, hal ini didasarkan pada firman Allah “....atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu adala kotor.”(QS. Al-An’am:145)
2.      Kencing manusia baik itu masih bayi maupun sudah dewasa, laki-laki ataupun perempuan. Hal tersebut didasarkan pada hadis nabi SAW yang menyebutkan, “Ada seorang badui kencing di Mesjid Nabi, saat lantainya masih berupa pasir dan batu kerikil. Nabi pun melarang tindakan itu. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk membawakan seember air dan menyiramkannya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
3.      Kotoran manusia hal itu sebagaimana sabda Nabi, “Jika salah seorang diantara kamu pergi untuk buang air besar, hendaklah ia  membawa tiga batu untuk bersuci dengannya, karena ketiganya sudah cukup memadai baginya.”(HR Abu Dawud, Ahmad, Nasa’i dan Darimi).
4.      Darah Haid  hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah “Apabila pakaian dari salah seorang diantara kalian terkena darah haid, hendaklah ia menggosoknya, lalu menyiramnya dengan air, untuk kemudian shalat dengannya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
5.      Darah nifas  dalam hal ini darah nifas disamakan dengan darah haid.
6.      Air liur dan keringat anjing. Hal ini telah dijelaskan beliau melalui  sabdanya, “Sucinya bejana adalah salah seorang diantara kalian jika dijilat oleh seekor anjing  adalah dengan mencucinya tujuh kali dan yang pertama kali adalah dengan tanah.”(HR. Muslim).
7.      Kencing dan kotoran binatang atau burung yang tidak boleh dimakan dagingnya. Misalnya serigala, burung yang memiliki cakar, dan keledai.
8.     Madzi yaitu cairan yang berwarna putih yang keluar dari saluran air kencing saat seseorang terangsang. Sabda Rasulullah, “Mengenai keluarnya madzi, ada keharusan wudhu.” (Mutafaqqun ‘alaihi).
9.     Wadi yaitu cairan berwarna putih yang keluar setelah kencing karena suatu penyakit, kedinginan atau karena sebab lainnya.
10.  Sisa atau bekas makan dan minum  babi dan anjing. Sisa makanan dan minuman hewan ini najis, karena air liurnya bercampur dengan makanan dan minumannya tersebut.
11.   Daging bangkai, yaitu daging semua binatang yang hidup di darat, yang kalau  mati darahnya  tetap mengalir. Sementara binatang yang hidup di dalam air, seperti ikan dengan berbagai macamnya, jika mati hukunya tidak najis. Adapun binatang yang tidak punya darah mengalir, seperti lalat, semut, nyamuk dan jangkrik, jika mati tidak merupakan najis.
12.   Darah binatang yang disembelih dan darah yang mengalir deras dari tubuh manusia  ataupun binatang.
13.   Bagian tubuh ternak yang dipotong saat masih hidup. Rasulullah SAW bersabda: “Bagian apapun yang dipotong dari binatang yang masih hidup, adalah bangkai.”  (HR, Abu Dawud dan Tirmidzi).

d.     Tata Cara Bersuci Dari Najis
Kaidah umum yang berlaku dalam bersuci dari najis ialah menghilangkan najis sampai bersih, tanpa sisa, baik bentuk, rasa, warna maupun baunya. Tetapi, jika ada salah satu najis yang sulit untuk dihilangkan, maka diberikan  keringanan untuk itu. Misalnya, darah yang sulit dihilangkan warnanya.[9]
Apabila kita menyiramkan air ke tanah atau lantai yang terkena najis, lalu bekasnya hilang, maka hukumnya sudah suci. Demikian itulah ketentuan yang berlaku, kecuali lidah anjing yang menjilat bejana. Untuk menyucikan bejana tersebut harus dibasuh tujuh kali yang salah satunya dengan pasir. Bahkan untuk kehati-hatian, sebaiknya seluruh tahapan dilakukan dengan menggunakan pasir.

Untuk menyucikan khuf, sepatu atau sandal yang terkena najis, cukup dengan menggosok-gosokkannnya ke tanah sampai bekasnya hilang.
Bersuci dari najis setelah buang air kecil ataupun besar, cukup dengan menggunakan beberapa buah batu yang dapat membersihkan bagian yang terkena najis. Namun demikian, akan lebih baik jika menggunakan air. Dan yang akan lebih baik lagi jika menggunakan air setelah  beberapa buah batu, dari pada hanya menggunakan air atau batu saja.
Jika tanah yang terkena najis menjadi kering oleh sinar matahari, atau oleh hembusan angin yang bisa menghilangkan bekas najisnya, maka hukumnya suci. Dan untuk menyucikan kencing bayi laki-laki yang hanya menyusu, cukup dengan menyiramkan air secara merata pada bagian yang terkena. Adapun pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan, harus dicuci seperti kalau mencuci air kencing orang dewasa.
Beberapa keterangan yang sering diperlukan:
1.     Tali cucian yang telah dipakai untuk menjemur pakaian-pakaian yang bernajis kemudian telah jadi kering disebabkan sinar matahari atau angin, maka boleh digunakan lagi untuk menjemur kain bersih.
2.     Jika seseorang ditimpa sesuatu yang jatuh dan ia tidak tahu apakah itu air ataukan kencing, dan umpama dia menanyakan juga , maka yang ditanya tidak wajib menjawab, meskipun ia tau bahwa sebenarnya itu najis. Tidak wajib baginya mencucinya.
3.     Apabila kain atau pinggir kain bagian bawah terkena sesuatu yang basah yang tidak dikenalnya wujudnya. Tidak wajib baginya untuk mengetahuinya. Berdasarkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar r.a. pada suatu hari lewat di sebuah tempat, kebetulan ia ditimpa sesuatu yang jatuh dari sebuah bumbung. Seorang yang ikut bersama ‘Umar menanyakan: “Hai pemilik bumbung, apakah airmu suci atau najis?”’Umar pun berkata: “Hai pemilik bumbung, tak perlu kau jawab pertanyaan itu.” Dan ia pun berlalu.
4.     Tidaklah wajib mencuci apa yang terkenai tanah jalanan. Berkata Kumail bin Ziyad: “Saya lihat ‘Ali r.a. memasuki lumpur bekas hujan. Kemudian ia masuk mesjid, lalu sembahyang tanpa membasuh kakinya.”
5.     Bila seseorang telah berpaling setelah shalat, lalu terlihat olehnya di kain atau badannya najis yang tak diketahui atau diketahuinya namun ia lupa atau tak sanggup menghilangkannya. Maka shalatnya sahdan tidak perlu mengulanginya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah kamu berdosa mengenai hal-hal yang tak disengaja.”
6.     Orang yang tidak mengetahui tempat najis sebenarnya pada kain, wajib mencuci keseluruhannya karena tak ada jalan untuk mengetahui hilangnya najis secara meyakinkan kecuali dengan mencuci keseluruhannya itu. Ini termasuk dalam masalah “Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya menjadi wajib pula.”
7.     Bila seseorang menaruh keraguan terhadap pakaiannya, mana diantaranya yang bersih dan kotor. Hendaklah ia mengambil salah satu diantaranya lalu memakainya untuk sekali sembahyang. Sebagaimana halnya dalam masalah kiblat, meskipun jumlah pakaian itu banyak atau sedikit.[10]
3.     HADAS
a.     Pengertian Hadas
    Hadas secara etimologi ialah seseorang yang tengah berhadas, Sedangkan secara terminologi ialah sesuatu yang mengkotori anggota tubuh yang bisa mencegah sahnya shalat. Seperti orang yang junub, haid, nifas dan lain-lain.[11]
b.     Macam-Macam Hadas
1)     Hadas kecil
            Hadas kecil ialah bila seseorang dalam keadaan bernajis disebabkan buang hajat selama belum beristinja, maka ia tetap dalam keadaan berhadas kecil.
2)     Hadas besar
            Hadas besar ialah seseorang dalam keadaan bernajis yang mewajibkan ia mandi sesudah berhadas besar itu, baru dinamakan ia suci dari hadas besar.[12]
c.      Sebab-Sebab Orang Berhadas
1)     Karena bersenggama (bersetubuh suami istri) meskipun keluar mani atau tidak, maka                    wajib mandi.
            Firman Allah swt. Dalam surat Al-Maidah ayat 6:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَا طَهَرُوْا
       “Jika kamu junub (bersutubuh) maka hendaklah kamu mandi.
2)     Keluar mani baik karena bersutubuh atau tidak seperti bermimpi dan sebagainya, maka wajib mandi.
3)     Sebab buang kotoran (haid). Sabda Rasululloh SAW. Dari ‘Aisyah r.a. berkata: telah bersabda Rasululloh SAW. Kepada Fatimah binti Hubaisyi, katanya: “Bila datang haidh maka tinggalkanlah shalat (sembahyang) dan bila telah habis maka mandilah Anda.                                                                                Hadits riwayat Bukhari.
4)     Karena nifas (darah yang keluar sesudah melahirkan), bila darah nifas itu telah berhenti, maka diwajibkan mandi.

d.     Hal-Hal Yang Dilarang Bagi  Yang Berhadas
1)     Hadas kecil
a)     Mengerjakan shalat wajib ataupun shalat sunah.
Sabda Rasulullah SAW yang  artinya:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu bila berhada,sehingga ia berwudu.” (Hadits riwayat Bukhari.
b)     Melakukan thawaf di ka’bah, baik thawaf wajib ataupun thawaf sunah. Dari ‘Aisyah r.a. bahwasanya Nabi SAW ketika sampai di Makkah , pekerjan yang selalu ia lakukan ialah berwudu’ sesudah itu beliau melakukan thawaf. ( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
2)     Hadas besar
Seseorang yang berhadas besar karena bersutubuh atau bagi wanita karena haidh atau nifas,[13] dilarang mengerjakan:
a)     Shalat (sembahyang) baik wajib maupun sunah.
b)     Thawaf di ka’bah, baik fardhu ataupun sunah.
c)     Menyentuh/memegang dan membaca Al-Qur’an.
d)     Diam/berhenti didalam masjid.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya :Aku tidak menghalalkan mesjid bagi orang haidh, nifas dan junub.” ( Hadits riwayat Abu Daud ).
e)     Berpuasa baik puasa wajib maupun sunah.
f)      Mencerai (menthalaq) istri yang haidh atau nifas
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ia pernah menceraikan isterinya yang sedang dalam haidh , maka Umar bertanya kepada Rasulullah SAW. Nabi menyuruh Ibnu Umar agar kembali kepada istrinya, hingga ia suci dari haidhnya, kemudian jika dikehendakinya boleh di tahannya , tapi bila hendak di cerai juga boleh di lakukan sebelum ia di campuri. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.



e.      Cara Bersuci Dari Hadas                                                    
              Berdasarkan jenis-jenis hadas yang  telah diketahui sebelumnya, ada yang disebut hadas kecil dan ada yang disebut sebagai hadas besar. Perbedaan jenis hadas ini juga berlaku bagi perbedaan cara menyucikannya.
1)     Cara bersuci dari hadas kecil
a)     Wudhu
Wudhu adalah cara untuk bersuci dari hadas kecil agar seseorang bisa melaksanakan shalat. Rasulullah SAW bersabda:
لَايُقْبَلُ اللهُ الصَلَاةَ مَنْ اَحْدَثَ حَتَى يَتَوَ ضَاءَ
 “Allah tidak akan menerima shalat orang yang masih berhadas sehingga ia berwudhu.”(HR. Bukhari, muslim dan lainnya)[14]
Cara berwudhu telah digambarkan oleh allah di dalam al-Quran, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basulah wajah dan tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan basulah kaki kalian sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6)
            Adapun rukun-rukun wudhu:
1.     Niat, ialah kemauan yang tertuju terhadap perbuatan, demi mengharap keridhaan Allah dan mematuhi peraturannya.
2.     Membasuh muka satu kali, artinya mengalirkan air ke atasnya, karena arti membasuh ialah mengalirkan.
3.     Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
4.     Menyapu kepala.
5.     Membasuh kedua kaki serta kedua mata kaki.
6.     Tertib.[15]
b)     Tayammum
            Menurut bahasa, tayamum adalah menyengaja. Sedangkan menurut syara’ ialah menyengaja menjadikan tanah sebagai penghapus muka dan tangan dengan maksud dapat melakukan shalat dan ibadah lainnya.[16]
            Allah berfirman: “Jika kalian sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kalian tidak memperoleh air, mak bertayammumlah dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS.al-Maidah: 6)
Para ulama berselisih pendapat, apakah tayammum itu kemurahan atau azimah ( keadaan terdesak)? Sebagian ulama fikih mengatakan, “Ketika tidak ada air, tayammum itu azimah. Tetapi demi uzur, tayammum adalah kemurahan”.[17]
      Adapun ijma’ ulama telah mencapai kesepakatan untuk menjadikan tayamum sebagai pengganti wudhu dan  mandi pada hal-hal tertentu.[18]
      Sebab-sebab yang membolehkan seseorang bertayamum untuk menghilngkan hadas kecil atau hadas besar  baik di waktu bermukim atau dalam perjalanan di antaranya:
1.     Jika seseorang tidak menemukan air, meski ada namun tidak cukup untuk bersuci. Namun, sebelum bertayamum hendaklah ia mencari air dari bekal perjalanan atau teman-temannya, atau dari tempat yang secara adat tidak jauh. Dan jika ia yakin air itu tidak ada, maka tidaklah wajib ia mencari.
2.     Jika seseorang memiliki luka atau ditimpa sakit dan ia khawatir jika terkena air penyakitnya semakin parah, baik hal itu diketahuinya dari pengalaman atau nasihat dokter.
3.     Jika air sangat dingin dan diduga akan membahayakan jika dipakai, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi.
4.     Jika air berada dekat seseorang namun ia khawatir terhadap keselamatan diri, kehormatan dan harta. Atau ia khawatir akan kehilangan teman. Atau air terhalang oleh musuh yang ditakutinya, baik berupa manusia atau yang lainnya. Atau apabila ia terpenjara dan tak mampu mengeluarkan air karena tak memiliki alat-alat seperti tali dan timba.
5.     Apabila seseorang khawatir akan menimbulkan fitnah atau bencana jika ia mandi.
6.     Jika seseorang membutuhkan air untuk keperluan minumnya atau bila ia membutuhkan air untuk mengaduk tepung, memasak atau menghilangkan najis yang tidak dapat dimaafkan.
7.     Jika seseorang sanggup menggunakan air, namun ia khawatir akan habis waktu bila memakainya untuk berwudhu atau mandi. Maka hendaklah ia melakukan tayamum dan shalat serta tak wajib mengulanginya.
            Adapun tanah yang boleh digunakan untuk bertayamum yaitu tanah yang suci, begitupun dengan yang sejenisnya seperti pasir, batu dan bata.
            Cara bertayamum yaitu hendaklah ia berniat terlebih dahulu kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu menyapukan ke muka, begitu pun kedua tangannya sampai pergelangan.[19]
2)     Cara bersuci dari hadas besar
Apabila seseorang sedang berhadas besar, maka yang wajib ia lakukan adalah mandi wajib. Agar ia kembali suci seperti semula dan dapat melakukan ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci, seperti shalat.
Cara mandi wajib yang paling sederhana, atau  hanya melakukan hal yang wajib saja, maka ada dua hal yang dilakukan. Pertama niat dan kemudian mengguyur sekujur tubuh dengan air yang suci dan menyucikan secara merata.
















BAB III
Kesimpulan
             Islam telah mengatur hukum-hukum thaharah sedemikian rupa hingga sampai hal-hal terkecil sekalipun. Ketetapan-ketetapan bersuci telah dibahas secara terperinci dan sangat jelas dalam ilmu fiqih, sehingga umat islam dapat membiasakan diri hidup bersih dan sehat.    
            Sebagai muslim kita perlu memahami pentingnya thaharah dalam melaksanakan segala kegiatan ibadah sehari-harinya. Kesucian batin dan lahirnya seseorang terlihat dari caranya menjaga kebersihan.
            Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci.
            Dengan demikian, kita harus memiliki sikap kehati-hatian terhadap segala ibadah yang kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Agar kita dapat menjadi seorang muslim yang selalu menjaga ketetapan-ketetapan yang telah diberlakukan oleh syariat islam.



     













Daftar Pustaka
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajri, Rinngkasan Fiqih Islam, (IslamHouse.com,2012).
H.E Hassan Saleh,  Kajian Fikih Nabawi dan Fikih Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008).
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net )
Anshory Umar Sitanggal, Fiqih Syafi’i Sistematis (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992).
Syeikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah khusus  Pria (Jakarta: Almahira, 2008).
Imam Syarqowi, Asy Syarqowi (Bandung: Al-Haromain, 2004).
Moneir Manaf, Pilar Ibadah Dan Do’a (Bandung: Angkasa, 1993).




[1] Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajri, Rinngkasan Fiqih Islam (IslamHouse.com,2012), hal 8.
[2] Muttafaq alaih, diriwayatkan oleh Bukhari no hadist : 5426 dan Muslim no hadist : 2067.
[3]H.E Hassan Saleh,  Kajian Fikih Nabawi dan Fikih Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal.22.

[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 20.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 21.
[6] Anshory Umar Sitanggal, Fiqih Syafi’i Sistematis (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992), hal. 44.
[7] Anshory , Fiqih Syafi’i, hal. 44.
[8] Syeikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah khusus  Pria (Jakarta: Almahira, 2008), hal 44-48.
[9] Syeikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah khusus  Pria, hal 48-49.

[10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 35-36.
[11] Imam Syarqowi, Asy Syarqowi (Bandung: Al-Haromain, 2004), hal.64-65.
[12] Moneir Manaf, Pilar Ibadah Dan Do’a (Bandung: Angkasa, 1993), hal.11.
[13]  Moneir Manaf, Pilar Ibadah Dan Do’a, 1993, hal. 11-12.
[14] Syeikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah khusus  Pria, hal 57.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 51.
[16] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 93.
[17] Syeikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah khusus  Pria, hal 81.
[18] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 93.
[19] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( http://ahkam.net ), hal 93-97.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan kurikulum di Indonesia

PERBANDINGAN KURIKULUM DI INDONESIA Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Kurikulum Dosen Pengampu : Dr. Isof Syafei, M. Ag.    Disusun oleh : Hilda Lestari (115011613) KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL . INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2017 DAFTAR ISI Daftar Isi ............................................................................................................................... 1 BAB I Pendahuluan ......................................................................................................................... 2 Latar Belakang ..................................................................................................................... 2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 3 BAB II...

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I

HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih DOSEN : MUKAROM,M.AG. Nama : Hilda Lestari 115011613 KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 2016 PENDAHULUAN Para Ulama sepakat bahwa tindakan manusia;baik berupa perbuatan maupun ucapan,dalam hal ibadah maupun muamalah,berupa tindakan perdana maupun tindakan perdata,masalah akad atau pengelolaan,dalam syariat Islam seluruhnya masuk dalam wilayah hukum.Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah dan sebagian tidak.Namun Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya,sehingga seorang Mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut. Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan ...
Hadits tentang sosial dan masyarakat Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hadits dan Pembelajarannya DOSEN : MUKAROM,M.AG.   Disusun oleh : Hilda Lestari KAMPUS STIT AT-TAQWA KPAD JL.INTEDANS NO.77S KPAD GEGER KALONG BANDUNG 40153 201 7 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan makhluk sosial dikarenakan pada diri manusia terdapat dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi.       ...